Sudah menjadi rahasia umum bahwa mimbar keagamaan hari ini telah menjadi arena kontestasi wacana keagamaan. Forum-forum keagamaan seperti pengajian sampai khotbah jumat telah menjadi ajang pembentukan opini publik. Tidak jarang di dalamnya berisi provokasi dan propaganda kebencian dan permusuhan.
Studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PKIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2017 menemukan sejumlah fakta mencengangkan. Penelitian itu mendapati kenyataan bahwa banyak khotbah jumat yang disusupi ujaran kebencian bahkan pemikiran radikal-ekstrem. Lebih mencengangkannya lagi, banyak masjid di lingkungan instansi pemerintah dan BUMN yang justru memberikan ruang bagi penceramah atau khotib radikal.
Temuan ini mencengangkan. Jika masjid yang berafiliasi dengan lembaga pemerintah saja bisa disusupi khotib atau penceramah radikal, lantas bagaimana masjid-masjid umum yang tersebar di tengah masyarakat? Kasus di Pamekasan tempo hari dimana ada seoarang khotib yang menyinggung pendiri NU yakni Hadratussyaikh Hasyim Asyarie adalah contoh nyata bagaimana mimbar keagamaan digunakan sebagai ajang menyebarkan siar kebencian.
Jika dibaca dari perspektif teori sosial, masjid merupakan ruang publik yang sakral. Artinya, masjid merupakan sebuah ruang dimana setiap muslim dengan beragam latar belakang diperbolehkan masuk di dalamnya. Namun, jangan lupa bahwa masjid ialah ruang yang sakral dan suci dimana ada aturan hukum dan norma yang harus dijaga.
Ada sebuah riwayat diceritakan bahwa “barang siapa berbicara urusan dunia di dalam masjid, maka Allah menghapus amalnya selama 40 tahun”. Bayangkan, jika berbicara urusan dunia saja dilarang, apalagi menebarkan ujaran kebencian? Hadist itu kiranya menjadi semacam rambu-rambu agar mimbar keagamaan apalagi khotbah steril dari ujaran kebencian.
Lantas, bagaimana menjamin agar mimbar keagamaan dan khotbah steril dari siar kebencian? Hal pertama yang urgen ialah adanya aturan yang secara tegas mengatur larangan menyebarkan ujaran kebencian dan paham yang memecah-belah, terutama melalui mimbar keagamaan. Selama ini, belum ada aturan yang secara spesifik mengatur ceramah agama atau khotbah Jumat.
Apa yang terjadi kemudian ialah materi khotbah kerap kali disusupi muatan politis bahkan ideologis. Di momen-momen politik seperti Pilkada dan Pilpres misalnya, mimbar keagamaan dan khotbah Jumat kerap diwarnai oleh narasi politik identitas dan politisasi agama. Lebih parah dari itu, khotbah Jumat juga kerap kali menjadi media penyebaran ideologi radikal.
Selain kehadiran pemerintah melalui regulasi, peran Dewan Masjid Indonesia (DMI) dalam membendung arus kebencian dan radikalisme di masjid juga harus dioptimalkan. Selama ini, muncul kesan bahwa DMI kurang optimal dalam mengurusi persoalan maraknya ujaran kebencian dan radikalisme yang disebarluaskan melalui masjid-masjid. Padahal, keberadaan DMI sebagai organisasi nasional sangat vital dan strategis.
Di lingkup yang terkecil, lembaga takmir masjid sebagai pengelola masjid di level paling bawah idealnya memiliki komitmen untuk menjaga mimbar khotbah steril dari narasi kebencian dan radikalisme. Jika takmir-nya memiliki komitmen pada keberagamaan yang toleran, inklusif, dan moderat maka besar kemungkinan mimbar khotbahnya pun steril dari narasi kebencian. Demikian pula sebaliknya.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah mewacanakan kembali gagasan sertifikasi khotib. Gagasan sertifikasi khotib ini sempat mencuat beberapa tahun lalu ketika diwacanakan oleh sejumlah elemen. Mulai dari Kemenag hingga PBNU. Gagasan sertifikasi khotib ini kian relevan manakala banyak mimbar khotbah yang justru menebar kebencian, alih-alih pesan perdamaian.
Wacana sertifikasi khotib sebenarnya bukan hal yang sepenuhnya baru. Banyak negara muslim telah menerapkan kebijakan tersebut. Sebut saja misalnya Arab Saudi, Turki, Iran, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Di negara-negara tersebut, seseorang tidak bisa begitu saja naik ke mimbar khotbah Jumat tanpa mengantongi sertifikat dari pemerintah.
Sertifikasi khotib bukanlah kebijakan untuk mengatur khotib, apalagi membungkam kebebasan berbicara. Melainkan lebih sebagai upaya untuk menjaga sakralitas mimbar khotbah di satu sisi dan mencegah agar mimbar keagamaan tidak dijadikan sebagai sarana menebar fitnah dan kebencian. Sertifikasi khotib juga bukan kebijakan yang bertentangan dengan demokrasi.
Mewacanakan kembali gagasan sertifikasi khotib ini kiranya relevan di tengah viralnya kasus khotbah jumat yang menyinggung pendiri NU K. H. Hasyim Asyarie. Tentu, gagasan sertifikasi khotib ini merupakan agenda jangka panjang yang harus digodog matang agar tidak menimbulkan polemik baru di tengah umat.
Dalam hal ini, pemerintah perlu menggandeng stakeholder terkait seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, dan ormas-ormas Islam lainnya. Juga melibatkan para tokoh agama dan intelektual atau akademisi Islam. Adanya sertifikasi khotib akan menjadi