Apa Hukum Memprotes Penceramah Pemecah-Belah?

Apa Hukum Memprotes Penceramah Pemecah-Belah?

- in Narasi
607
0
Apa Hukum Memprotes Penceramah Pemecah-Belah?

Jika kita datang ke suatu Masjid. Lalu, ada seorang pengkhotbah/penceramah di hadapan kita. Berdiri tegak di mimbar kehormatan. Membawa narasi ceramah yang memecah-belah umat. Lantas, tindakan apa yang harus kita lakukan? Bolehkah kita memprotes hal demikian?

Tentu, pertanyaan di atas, sebetulnya mengacu ke dalam satu kondisi. Apakah kita akan membiarkan umat teracuni dengan ceramah yang semacam itu? Kasus penceramah pemecah-belah pernah dijumpai oleh Direktur Eksekutif Jaringan Moderat, yaitu Islah Bahrawi.

Beliau pernah datang ke suatu Masjid. Lalu memprotes terhadap seorang pengkhotbah, pada saat khotbah Jum’at itu berlangsung. Mengapa? karena semua isi khotbah yang disampaikan di mimbar itu adalah praktik kemudharatan yang nyata. Karena penuh dengan fitnah. Menjelekkan pemerintahan yang sah. Menganggap Jokowi melegalkan LGBT, Mengekang gerakan Islam, Menggencet Islam dan Menghidupi komunisme.

Maka, dari sinilah Islah Bahrawi memutuskan untuk berdiri. Dengan lantang melontarkan kalimat innalillah sambil protes. Lalu dirinya keluar dari Masjid dan dikuti oleh “hampir separuh” jamaah shalat Jum’at. Apakah sikap ini salah? Tentu sikap yang demikian perlu dilakukan.

Sebagaimana di dalam prinsip agama Islam sendiri. Ada satu kaidah yang mengerucut pada “Dzharul mafasidi aula min jalbil mashalihi”. Bahwasanya, menghilangkan segala bentuk kemudharatan itu jauh lebih diutamakan/didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan.

Dalam arti pemahaman, kita jelas-jelas melihat di depan kita. Ada sosok “penceramah/pengkhotbah” yang orientasi ceramahnya akan membawa kemudharatan. Membawa narasi yang memfitnah, menuduh, penuh kebencian, penuh dengan provokasi pemecah-belah. Maka, apakah kita hanya berdiam diri? Tentu kita harus menghentikan kemudharatan itu. Karena itu jelas masuk dalam ranah (merusak) tatanan sosial dan mengajak umat untuk membangkang dengan segala fitnah dan tuduhan terhadap pemerintah yang sah.

Jadi, ketika kita berada di suatu Masjid. Lalu, kita duduk dan ternyata di depan kita yang berdiri di mimbar kehormatan itu. Justru narasi khotbah-nya akan membawa perpecahan, kebencian, permusuhan dan keburukan bagi NKRI. Maka, tidak ada tugas lain selain kita protes atas hal itu dan kita perlu meninggalkan pengkhotbah yang demikian.

Jadi, sangat boleh dan bahkan dianjurkan. Jika ada pengkhotbah radikal, kita protes dan pergi meninggalkannya. Sebagaimana, contoh keputusan yang diambil oleh Direktur Eksekutif Jaringan Moderat, yaitu Islah Bahrawi. Beliau dengan tegasnya pada saat datang ke Masjid untuk melakukan shalat Jum’at. Lalu, Beliau mendengarkan pengkhotbah di depannya penuh dengan fitnah dan kebencian. Sehingga, Beliau langsung berdiri dan protes atas hal itu. Lalu, Beliau pergi.

Karena, apa yang dilakukan oleh Islah Bahrawi ini bukan tidak memiliki sopan-santun atau dianggap tidak memiliki adab. Sebab, Beliau paham, antara posisi tegas ke dalam satu kondisi yang berada dalam titik kemudharatan. Dengan, posisi kita harus mengedepankan sopan-santun atau akhlak untuk tetap diam. Karena, dalam konteks kemudharatan kita tidak boleh berdiam dan membiarkan kemudharatan itu terus terjadi.

Artinya, segala kemudharatan itu harus dicegah. Misalnya, kita datang ke rumah ibadah, seperti umat Islam datang ke Masjid, untuk melaksanakan shalat Jum’at berjamaah misalnya. Lalu, tiba-tiba pengkhotbah/penceramah yang berdiri di mimbar kehormatan. Itu justru berceramah penuh kebencian, memfitnah, menuduh dan berpotensi memecah-belah umat. Maka, tugas kita adalah memprotesnya dan kita boleh pergi meninggalkannya. Sebab, mencegah kemudharatan adalah hal yang wajib bagi kita, demi terjaganya kemaslahatan.

Facebook Comments