Kemunculan media baru (new media) terutama internet dan media sosial dalam beberapa tahun belakangan ikut menyumbang andil pada pergeseran wacana sosial, politik, dan keagamaan. Internet dan media sosial telah menjadi semacam ruang publik digital (digital public sphere) dimana segala wacana dan pemikiran diproduksi sekaligus dikontestasijan. Internet dan media sosial telah menjadi arena pertempuran gagasan bahkan ideologi.
Dalam konteks Indonesia, lanskap ruang publik digital kita dalam beberapa tahun belakangan mengalami perkembangan yang dinamis. Masifnya peningkatan pengguna internet dan media sosial telah menjadikan ranah maya sebagai “dunia” kedua bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Nyaris saban hari, isu sosial, politik, agama dan sebagainya menjadi bahan perdebatan netizen di dunia maya.
Ironisnya, di saat yang sama, harus diakui bahwa selama ini, ruang publik digital kita lebih banyak didominasi oleh narasi bernuansa kebencian, intoleransi, bahkan ekstremisme. Secara demografis, masyarakat Indonesia mayoritas sebenernya berwatak moderat, dalam artian toleran dan cinta-damai. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai macam kearifan lokal yang menggambarkan bagaimana relasi sosial-keagamaan masyarakat Indonesia itu bertumpu pada prinsip harmoni dan gotong royong.
Namun, fakta demografis di dunia nyata itu nyatanya berkebalikan dengan fakta sosiologis di dunia maya. Di jagad digital, masyarakat Indonesia dikenal brutal dalam beropini. Survei Microsoft tentang Digital Civility Index menempatkan Indonesia sebagai negara dengan netizen paling tidak beradab di Asia Tenggara. Hasil survei itu disimpulkan dari perilaku warganet Indonesia yang doyan menyebar hoaks dan ujaran kebencian di dunia maya.
Mengapa Dunia Maya Sarat Narasi Kebencian dan Ekstremisme?
Salah satu faktor utama mengapa dunia maya kita sarat narasi kebencian dan ekstremisme adalah keberadaan kaum noisy minority. Yakni kaum minoritas berisik yang meski dari segi statistik jumlah mereka sedikit, namun begitu aktif dan vokal menyuarakan gagasannya di dunia maya. Kaum minoritas berisik inilah yang saat ini mendominasi percaturan wacana di dunia maya melalui konten-konten bernada kebencian dan provokatifnya.
Dunia maya, terutama media sosial memang punya regulasinya sendiri. Di dalam media sosial, penyebaran narasi dan informasi sangat ditentukan kerja senyap algoritma. Algoritma kecerdasan buatan inilah yang menentukan sebuah konten akan tersebar luas di dunia maya atau hanya mengendap di sudut-sudut yang tidak terjamah netizen.
Sayangnya, kaum minoritas berisik ini paham betul bagaimana menunggangi algoritma media sosial tersebut. Mereka membombardir media sosial dengan narasi kebencian dan ekatremisme, lalu memviralkannya melalui akun-akun palsu yang jumlahnya bisa ribuan bahkan jutaan. Alhasil, narasi kebencian dan ekatremisme pun cenderung mendominasi ruang publik digital kita.
Inilah tantangan berat bagi bangsa, terutama generasi Milenial dan generasi Z sebagai kelompok terbesar “penghuni” jagad maya. Di satu sisi, pemerintah tidak bisa membatasi apalagi melarang penggunaan media sosial karena hal itu akan melanggar prinsip kebebasan berekspresi. Di sisi lain, jika narasi kebencian dan ekstremisme itu disikapi permisif, maka keutuhan bangsa dan negara menjadi taruhannya. Sudah banyak negara yang hancur oleh konflik lantaran dilatari masifnya hoaks dan kebendian di dunia maya.
Saatnya Kaum Moderat Mendominasi Kontestasi Wacana di Dunia Maya
Apa yang terjadi di dunia maya pada dasarnya adalah perang wacana. Maka yang dibutuhkan untuk membendung narasi kebendian dan ekstremisme yang disebar kaum noisy minority adalah dengan memproduksi narasi tandingan. Di titik ini, pesan K.H. Mustofa Bisri alias Gus Mus bahwa “ Sing Waras Ora Oleh Kalah” alias “Yang Waras Tidak Boleh Ngalah” menjadi sangat relevan.
Di masa lalu, ketika dunia digital belum semasif sekarang, kelompok moderat memang cenderung pasif dalam berdebat. Adagium yang kerap dipakai adalah “Sing Waras Ngalah“. Adagium ini dipakai lantaran kaum moderat meyakini bahwa menghindari konflik adalah lebih utama ketimbang memperjuangkan kebenaran yang berpotensi menyulut perdebatan bahkan perpecahan.
Namun, di era sekarang terutama di ranah digital, adagium “sing waras ngalah” itu kian tidak relevan. Tersebab, jika kaum moderat memilih mengalah dengan diam dan pasif, maka masyarakat akan disetir dan dimobilisasi opini serta sikapnya oleh kelompok ektrem.
Maka, kaum moderat tidak boleh diam. Kaum moderat harus merebut kembali wacana sosial, politik, dan agama di jagad maya dengan memproduksi narasi tandingan yang mencerahkan, menyejukkan, dan mempersatukan.
Di titik ini, peran kaum muda milenial dan gen Z sebagai generasi digital native sangat diperlukan. Kaum milenial dan gen Z harus aktif mengampanyekan narasi toleransi dan perdamaian di dunia maya. Kaum waras harus menjadi pemenang dalam kontestasi narasi. Konten kebencian dan provokasi harus dilawan dengan konten yang menyerukan perdamaian dan persatuan.
Opini-opini jelek yang bertaburan di media sosial harus dilawan dengan opini-opini yang cerdas. Dengan begitu, algoritma media sosial dan dunia maya akan dikuasai oleh kelompok moderat. Jika itu terjadi, bisa dipastikan jagad maya akan steril dari narasi-narasi yang mengancam kebinekaan dan persatuan bangsa.