Penangkapan terduga teroris bernisial DN, di Bekasi, Jawa Barat beberapa hari lalu cukup mencengangkan kita semua. Penangkapan itu hanya berselang kurang dari sepekan dari peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-78. Belum lagi temuan sejumlah pucuk senjata pabrikan dan rakitan lengkap berikut amunisinya.
Paling mengejutkan adalah fakta bahwa tersangka DN merupakan pegawai PT. KAI yang notabene merupakan Badan Usaha Milik Negara alias BUMN. Penangkapan DN seolah mengulang kejadian serupa pada tahun 2021 ketika salah seorang pegawai BUMN Kimia Farma dicokok Densus 88 lataran terlibat jaringan terorisme.
Berita terakhir menyebutkan bahwa DN berniat melakukan aksi amaliyah di Mako Brimob, Jakarta. Ia juga berniat mengacaukan Pemilu 2024. Selain menyusun strategi penyerangan, DN juga dikenal aktif mempropagandakan terorisme di laman Facebook-nya. Tampaknya, DN merupakan simpatisan ISIS, organsisasi teroris global yang ancamannya nyaris tidak pernah surut.
Penangkapan DN, tersangka teriorisme yang merupakan pegawai BUMN ini mengonfirmasi asumsi selama ini bahwa banyak lembaga pemerintah yang disasar atau menjadi target gerakan radikal-ekstrem. Apalagi BUMN, lembaga pemerintah yang dikenal strategis karena berhubungan dengan pengelolaan uang dalam jumlah tidak sedikit.
Lima Langkah Kudeta Merangkak Kaum Radikal
Strategi menyusup ke lembaga pemerintahan yang dilakukan oleh kaum radikal ini bukan kebetulan atau tanpa sengaja. Penyusupan ke lembaga pemerintahan ini sebenarnya sudah didesain dan merupakan bagian dari skenario besar dari strategi kudeta merangkak. Dalam ilmu politik, istilah kudeta merangkak diartikan sebagai upaya merebut kekuasaan secara halus, senyap, dan tidak mengedepankan konflik terbuka memakai senjata.
Kudeta merangkak umumnya dilakukan melalui strategi jangka panjang serta mengedepankan pendekatan lunak (soft-approach). Dalam konteks kaum radikal-ekstrem, strategi kudeta merangkak melalui penyusupan ke lembaga pemerintahan itu kiranya dapat dibaca ke dalam setidaknya lima langkah.
Pertama, secara umum, individu berhaluan radikal yang masuk ke lembaga pemerintah, termasuk BUMN itu sebenarnya sudah terpapar radikalisme sejak dari luar alias sebelum masuk ke lembaga pemerintahan. Mereka umumnya sudah terpapar sejak di bangku kuliah, bahkan sekolah.
Sebagai contoh, DN, tersangka teroris yang merupakan karyawan PT. KAI itu sudah dikenal memiliki pandangan radikal-ekstrem sejak di bangku sekolah dan kuliah.
Kedua, mereka sengaja masuk ke instansi atau lembaga pemerintah dengan tujuan tertentu. Yakni menyebarkan paham radikal mereka dalam artian mencari anggota atau simpatisan baru sekaligus ingin menguasai instansi tersebut.
Ketiga, ketika berhasil masuk ke instansi pemerintah, mereka akan mengadakan perkumpulan dan kegiatan keagamaan yang fungsinya adalah sebagai sarana indoktrinasi sekaligus rekrutmen gerakan radikal di lingkungan internal.
Mereka juga menjadikan acara keagamaan sebagai kesempatan untuk mengundang penceramah agama yang memiliki keserupaan pandangan dan ideologi. Hal ini bisa kita lihat dari sejumlah instansi BUMN seperti PLN, Telkom, atau KAI yang rutin mengundang penceramah radikal seperti Felix Siaw, Khaled Basalamah, dan sebagainya.
Keempat, mereka berupaya sekuat tenaga untuk mengembangkan karir dengan tujuan menduduki jabatan atau posisi strategis di instansi pemerintah. Jika posisi-posisi strategis itu berhasil dikuasai, maka mudah bagi kelompok radikal ini untuk memanfaatkan instansi pemerintah demi tujuan pragmatis-ideologis mereka.
Kelima, puncaknya mereka akan mengendalikan instansi pemerintah dan memanfaatkan sumber daya di dalamnya demi mewujudkan agenda tersembunyi mereka. Apalagi jika bukan mengganti bentuk dan dasar negara.
Momentum Membersihkan Instasi Pemerintah dari Anasir Radikalisme
Strategi kudeta merangkak ala kaum radikal di lembaga pemerintah, terutama BUMN inilah yang patut diwaspadai sejak dini. Jangan sampai, kita lengah apalagi bersikap permisif pada anasir gerakan radikal-ekstrem yang menyusup ke lembaga pemerintah. Diperlukan langkah strategis mengatasi persoalan ini.
Dalam konteks jangka pendek, penindakan hukum terhadap siapa saja pegawai pemerintah yang terlibat gerakan radikal apalagi terorisme kiranya merupakan hal tepat. Kita tidak boleh memberikan ruang bagi siapa pun yang anti-Pancasila, apalagi anti-NKRI untuk hidup menjadi benalu di lembaga pemerintah.
Dalam konteks jangka menengah, instansi pemerintah terutama BUMN perlu membangun sistem pengawasan dan deteksi dini radikalisme secara internal. Lembaga pemerintah perlu membangun mekanisme pengawasan aktivitas pegawainya baik di dunia nyata maupun maya.
Lebih spesifik lagi, instansi pemerintah perlu mengawasi kegiatan keagamaan yang dilakukan di lingkup internalnya. Jangan sampai, acara keagamaan seperti pengajian rutin justru menjadi ajang radikalisasi.
Terakhir, dalam konteks jangka panjang perlu ada mekanisme penyaringan (screening) dalam hal rekrutmen awal maupun pada saat penempatan pada posisi strategis. Artinya, sejak awal instansi pemerintah harus memeriksa latar belakang calon karyawan yang akan direkrut. Rekam jejak digital terutama terkait pandangan keagamaan dan politik perlu dilacak.
Hal ini untuk memastikan bahwa orang-orang yang nantinya bekerja di lingkungan instansi pemerintah dan menduduki jabatan publik benar-benar steril dari paham radikal-ekstrem. Pengungkapan jaringan terorisme di PT. KAI kiranya bisa menjadi momentum awal untuk membongkar dan menyapu bersih jaringan teroris di lembaga pemerintah.