Mengoreksi Doktrin Jihad ala ISIS di Kalangan Kelas Menengah Muslim

Mengoreksi Doktrin Jihad ala ISIS di Kalangan Kelas Menengah Muslim

- in Keagamaan
441
0
Mengoreksi Doktrin Jihad ala ISIS di Kalangan Kelas Menengah Muslim

Jika diamati, ada setidaknya dua ciri khas pelaku atau jaringan terorisme yang terbongkar selama kurun waktu beberapa tahun terakhir. Ciri pertama adalah biasanya mereka berasal dari kelompok kelas menengah muslim urban.

Secara profil, mereka sebenarnya tidak cocok menjadi teroris. Dengan latar belakang pendidikan tinggi, ekonomi mapan, dan gaya hidup yang adaptif pada modernitas, kelas menengah rasa-rasanya tidak cocok menjadi seorang teroris. Namun, fakta justru menunjukkan sebaliknya. Mayoritas teroris hari ini justru berlayar belakang kelas menengah urban yang modernis.

Kedua, hampir seluruh teoris yang berhasil ditangkap aparat merupakan simpatisan Islamic State of Iraq and Syiria alias ISIS. Kebanyakan dari mereka (teroris) umumnya memang berafiliasi dengan organisasi lokal seperti Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Ansharud Daulah, Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat, dan sebagainya. Namun, umumnya mereka juga berbaiat pada ISIS. Lantas, adalah korelasi antara ISIS dan menjamurnya fenomena radikalisme di kalangan muslim menengah urban di Indonesia?

Kontribusi ISIS pada Menjamurnya Radikalisme Agama Kelas Menengah Muslim

Dalam amatan saya, ISIS berkontribusi besar pada menjamurnya radikalisme di kekangan kelas menengah urban. Mengapa bisa demikian?

Pertama, doktrin ISIS tentang jihad yang dimaknai sebagai kekerasan dan perang cenderung berbeda dengan organisasi teroris lain seperti Jamaah Islamiyyah atau Al Qaeda. Doktrin jihad ala JI misalnya lebih ketat.

Artinya, tidak semua orang bisa dan boleh menjalankan amaliyah seperti bom bunuh diri atau kekerasan fisik lainnya. Dalam doktrin JI, jihad dalam artian kekerasan harus dirancang sedetail mungkin, menentukan target yang tepat, dan dilakukan oleh orang yang benar-benar terpilih.

Hal itu bertolak belakang dengan doktrin jihad ala ISIS. Sejak awal hingga kejatuhannya, doktrin jihad ISIS tetap sama; yakni menyeru siapa saja dan dimana saja untuk melakukan aksi teror dan kekerasan sekecil apa pun untuk menunjukkan bahwa mereka eksis. Maka, aksi teror yang dilakukan simpatisan ISIS umumnya cenderunga amatir, tidak masif, kerap dilakukan sendirian (lonewolf), dan sasarannya cenderung acak.

Kedua, ketimbang organisasi teoris lain, ISIS lebih masif menggunakan media digital terutama internet dan media sosial untuk mempropagandakan ideologinya. Propaganda radikalisme di media digita itulah yang akhirnya sampai ke kalangan kelas menengah muslim urban yang memang dikenal sebagai kelompok digital friendly. Alhasil, banyak kelompok muslim urban yang mengalami self-radicalization alias radikalisasi mandiri hanya melalui konten-konten yang diakses melalui kanal media digital.

Ketiga, pola indontrinasi dan rekrutmen ISIS yang cenderung lebih informal dan tidak kaku. Seperti diketahui, untuk menjadi simpatisan ISIS, seseorang tidak perlu berbaiat secara langsung melainkan cukup melalui sarana komunikasi daring. Kemudahan berbaiat inilah yang membuka jalan bagi kelas menengah muslim untuk berbaiat pada ISIS.

Terakhir, ISIS lihai mempropagandakan ideologinya dengan menjajakan mimpi-mimpi tentang kehidupan yang adil dan sejahtera dibawah naungan sistem Islam. Di saat yang sama, propaganda ISIS juga gencar menyerang sistem demokrasi Barat sebagai biang pemicu ketidakadilan dan kesengsaraan umat Islam. Propaganda provokatif itu mendorong kelas menengah muslim yang memang tengah mengalami kegalauan identitas untuk bergabung dengan ISIS.

Tantangan Dakwah Islam Moderat di Kelompok Muslim Menengah-Urban

Kini, meski eksistensi ISIS kian terpojok akibat kekalahan demi kekalahan, namun doktrin jihadnya seolah tidak pernah lekang. Virus ISIS kadung menyebar kemana saja, termasuk ke lembaga pemerintahan. Hari ini banyak pegawai BUMN, guru, dosen, dan aparatus pemerintah lainnya yang secara sadar menjadi simpatisan ISIS.

Di lingkungan BUMN ada pengajian-pengajian yang diasuh oleh ustad-ustad yang berbaiat pada ISIS. Di kalangan dosen ada komunitas yang menggaungkan ide khilafah Islamiyyah. Di lingkup mahasiswa ada gerakan kemahasiswaan yang sebenernya adalah lembaga pengkaderan ISIS. Keberadaan mereka samar-samar, antara ada dan tiada. Namun dampaknya terasa. Terbongkarnya jaringan teroris di BUMN, kampus, sekolah, dan instansi pemerintah lainnya adalah bukti tak terbantahkan bahwa doktrin jihad ISIS justru lebih diterima kalangan kelas menengah urban (perkotaan) ketimbang masyarakat bawah di kawasan rural (pedesaan).

Merebaknya radikalisme di kalangan kelas menengah muslim menjadi pekerjaan rumah berat bagi orma Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Dua ormas tersebut selama ini terkesan abai pada keberadaan kelompok kelas menengah muslim. NU kadung nyaman berdakwah di kelompok masyarakat tradisional-pedesaan yang sebenarnya sudah sangat adaptif pada praktik keberagamaan yang inklusif dan moderat. Sedangkan Muhammadiyah lebih fokus pada pemberdayaan umat melalui pendidikan dan kesehatan. Hal itu tentu tidak salah, pengabaian pada keberadaan kelas menengah ini menjadi pintu masuk kalangan radikal untuk menancapkan dominasinya.

Kini saatnya NU dan Muhammadiyah menggarap segmen dakwah kalangan kelas menengah muslim dengan narasi keberagamaan inklusif dan moderat. Para pendakwah dari kalangan NU dan Muhammadiyah serta ormas Islam moderat lainnya harus berani membongkar sesat tafsir jihad ala ISIS yang kadung diimani kelompok muslim menengah urban. Dengan begitu, virus radikal ekstrem di kalangan kelas menengah muslim kiranya dapat dieliminasi.

Facebook Comments