Pada 2018 silam, dunia kampus dikejutkan dengan penangkapan dan penggeledahan yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror Polri di salah satu kampus di Pekanbaru Riau. Dalam proses itu, ditemukan bom siap ledak di gelanggang mahasiswa kampus tersebut. Dalam keterangan lanjutan, rencananya bom tersebut akan digunakan aksi untuk diledakkan di Gedung DPR Senayan dan DPRD Riau. Pelaku tidak lain adalah tiga alumni dari kampus tersebut.
Pada tahun 2022, kembali Densus 88 menangkap teroris dengan latar belakang mahasiswa aktif. IA alias Ilham (22 Tahun) adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional di salah satu kampus di Jawa Timur yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme. Selain mengumpulkan dan mengirimkan dana untuk pendukung ISIS di Indonesia, IA berperan dalam menyebarkan materi-materi propaganda melalui media sosialnya.
Tentu masih banyak cerita mahasiswa dan insan perguruan tinggi yang terpapar paham radikal dan sudah menjadi bagian dari jaringan terorisme. Lebih banyak lagi mereka yang menaruh simpati dan sudah mengalami proses adaptasi ideologi radikal. Apa masalahnya?
Perguruan tinggi tempat pembelajaran dan pengembangan intelektual ternyata mudah disusupi infiltrasi paham radikal. Teori teroris menyasar mereka yang tidak berpendidikan pun terasa lemah. Proses rekrutmen dan kaderisasi justru banyak dilakukan di sekolah dan perguruan tinggi.
Karena itulah, kesiapsiagaan seharusnya harus juga dilakukan di lingkungan kampus. Lembaga kampus harus bisa membuat mekanisme bagaimana mengidentifikasi mahasiswanya yang sudah mulai terpapar paham radikal. Orang yang terpapar radikalisasi dapat mengalami perubahan sikap dan pemikiran yang drastis. Mereka mungkin menjadi lebih ekstrem dalam pandangan politik atau agama mereka.
Tanda lain yang bisa dikenali adalah individu yang terpapar radikalisasi cenderung mengisolasi diri dari teman-teman atau keluarga mereka yang memiliki pandangan yang berbeda. Mereka secara online berpartisipasi aktif di situs web ekstremis atau berinteraksi dengan individu-individu yang terlibat dalam ekstremisme.
Membangun Kampus Siaga
Tentu dunia kampus yang menekankan pada kemerdekaan, kebebasan dan kemandirian peserta didik harus bisa mempertimbangkan cara yang lebih adaptable dengan iklim kampus. Butuh bangunan budaya dan sistem yang tepat dalam upaya membangun kampus siaga di kampus.
Pertama, pendidikan dan Kesadaran terutama kepada mahasiswa baru : Kampus harus memberikan pendidikan dan kesadaran tentang bahaya radikalisasi. Mahasiswa dan staf harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda radikalisasi dan bagaimana melaporkannya.
Kedua, melibatkan pemerintahan mahasiswa dalam mendeteksi dini. Aktivitas mahasiswa di kampus berbeda dengan sekolah yang masih dikontrol guru. Di kampus, elemen penting dalam melakukan deteksi dini adalah peran dari organisasi mahasiswa, unit kegiatan mahasiswa dan pengurus pemerintahan mahasiswa. Inilah elemen-elemen yang wajib diajak kerjasama.
Ketiga, mendorong dialog: Kampus harus menjadi tempat di mana dialog terbuka dan sehat dianjurkan. Membangun iklim kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan moderasi di kalangan mahasiswa. Mendorong kerjasama antar agama, budaya dan etnis melalui kegiatan di dalam kampus.
Keempat, kolaborasi kampus dengan pihak berwenang seperti BNPT dalam membangun ketahanan ideologi mahasiswa.
Kelima, menyediakan ruang konsultasi berbasis deradikalisasi bagi mahasiswa yang terindikasi memiliki pemahaman yang ekstrem. Pusat Deradikalisasi dan konsultasi di kampus dengan apapun namanya penting dimiliki oleh dunia kampus.
Kampus siaga dari radikalisasi adalah upaya proaktif untuk menjaga keamanan dan integritas lingkungan pendidikan tinggi. Sekali lagi tidak ada yang imun dari pengaruh paham ini. Kalangan terdidik pun menjadi mangsa dan korban dari proses radikalisasi.