Istilah fundamentalisme pada awalnya digunakan hanya untuk menyebut penganut agama Katolik yang menolak modernitas dan mempertahankan ajaran ortodoksi agamanya. Kini, istilah itu digunakan untuk melihat gejala yang sama pada penganut agama-agama lainnya. Oleh karenanya, ada fundamentalisme Islam, Hindu, dan Budha.
Sejalan dengan itu, penggunaan istilah fundamentalisme menimbulkan citra tertentu, misalnya ekstremisme, fanatisme, dan terorisme dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan keagamaannya. Sampai batas tertentu, kelompok-kelompok ini menganggap orang lain sebagai musuh.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa fundamentalisme lahir dari kegagalan suatu kelompok dalam mengikuti arus globalisasi. Di satu sisi, fundamentalisme bisa berarti salah satu dampak negatif dari lahirnya modernitas. Modernitas memang menawarkan banyak kemudahan bagi manusia, namun di sisi lain, menimbulkan ketidakpuasan bagi mereka yang gagal mengikuti iramanya. Misalnya, ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan modern, yaitu demokrasi, yang mendapat banyak pertentangan dari para fundamentalis.
Dalam konteks Islam, para fundamentalis ini meyakini bahwa contoh kegemilangan Islam dalam mengelola pemerintahan di masa lalu dapat diajukan sebagai solusi problem masa kini. Kalau dahulu umat Islam pernah berjaya dengan prinsip ajaran Islam, kata mereka, maka di masa kini dan yang akan datang juga akan berjaya juga jika ajaran Islam diterapkan secara total.
Sarjana Muslim kontemporer Maroko Muhammad Abid Al-Jabiri menjelaskan bahwa penolakan kaum fundamentalis terhadap masa sekarang bukanlah karena “terlalu bobroknya” sistem neo-liberal dan kapitalis, akan tetapi sejarah masa lalu yang sangat mendominasi dalam alam bawah sadar mereka sehingga menghambat kemajuan masa depan dan terus terjebak dalam romantisme masa lalu.
Jika demikian, tidak salah rasanya jika kita sedikit mempertanyakan tentang bagaimana dampak para fundamentalis Islam ini bagi kelangsungan kehidupan pluralisme di Indonesia? Di sisi lain, Indonesia adalah negeri plural yang masih muda usianya. Sikap dalam kehidupan juga terhitung belum matang. Mengapa dikatakan demikian? Karena hidup berdampingan dengan keberagaman seharusnya memunculkan sifat empati dan pengertian serta tetap memperhatikan kebaikan orang dan kelompok lain walaupun dengan caranya masing-masing. Ironisnya, masyarakat Indonesia kebanyakan masih tergoda untuk melihat perbedaan agama sebagai sesuatu yang mengancam dan melihat umat agama lain sebagai sumber banyak kesulitan.
Meski demikian, ada sisi lain dari kelompok fundamentalisme agama yang perlu diberi perhatian. Kelompok fundamentalisme agama cenderung bisa mengambil hati masyarakat awam dalam memecahkan problem masyarakat yang belum terafiliasi secara kultural dengan ormas keagamaan yang mapan. Ditambah lagi, ketika kelompok besar yang sudah eksis, justru absen di tengah kebutuhan masyarakat.
Misalnya, ketika terjadi konflik di Ambon. Ada orang Kristen yang membunuh umat Islam hampir satu pulau di Toledo. Di saat itu, tidak ada reaksi segera dari NU, mengingat bisa jadi kebanyakan penduduk yang dibantai adalah orang NU juga. Absennya kehadiran ormas besar ini menciptakan ruang bagi para fundamentalis untuk merebut hati para korban konflik tersebut. Atau arus Islam keras macam Front Pembela Islam, misalnya, menjadi salah satu ormas yang paling tanggap terhadap bencana alam.
Kelompok fundamentalis ini “merasa” bertanggung jawab atas kehidupan orang Islam. Selain membantu melawan dengan pedang, kelompok kecil ini kemudian juga membawa obat-obatan. Para korban konflik yang mayoritas Muslim tersebut sedikit demi sedikit akan menaruh simpati kepada para fundamentalis dan pada akhirnya akan mudah menelan propaganda mereka.
Inilah yang kemudian menjadi salah satu dampak jangka panjang bagi masyarakat awam yang belum terpengaruh. Pengurus ormas besar, dalam kasus ini, setidaknya harus lebih peka dan peduli dengan isu-isu sosial sebelum para fundamentalis mengakuisisi dan semakin menyebarkan pemahamannya kepada orang awam.
Menarik memang melihat “kelompok-kelompok kecil” ini sangat peduli kepada masalah-masalah yang dialami umat dan segera mengambil tindakan. Terkadang NU dan Muhammadiyah, misalnya, yang terlambat merespon isu karena besarnya struktur organisasi yang mereka urus. Terhadap masalah-masalah kemasyarakatan yang mungkin terabaikan oleh ormas besar, kelompok fundamentalis akan menyelesaikannya dengan cara-cara mereka sendiri walaupun tidak disenangi oleh orang lain.
Kelompok fundamentalis juga menjadi pihak yang paling “peka” soal problem identitas generasi muda masa kini. Hal itu terejawantah dari program “dakwah” mereka yang “Gen Z friendly” dengan pembawaan dan materi yang dekat dengan mereka. Dalam tataran tertentu, kepekaan ini justru telat disadari oleh poros keagamaan moderat. Kita sering terfokus bahwa kelompok yang mengharamkan musik adalah kelompok fundamentalis hingga lalai bahwa kelompok tersebut kini sudah memanfaatkan musik sebagai medium propaganda mereka. Instrumen-instrumen yang kita pikir akan diabaikan kelompok-kelompok ini justru di luar dugaan dimanfaatkan secara optimal.
Inilah sebabnya refleksi dari dalam juga perlu dilakukan dalam melawan fundamentalisme agama. Fleksibilitas dan strategi “kontekstual” ala kelompok fundamentalis seringkali melalaikan kita bahwa itu hanyalah kemasan untuk pesan-pesan “ideologis-politis” mereka. Di satu sisi, paham yang dibawa kelompok fundamentalis sangat eksklusif, tak ramah modernitas, dan cenderung konservatif. Tetapi di sisi lain, kelompok fundamentalis piawai memainkan peran “pahlawan” dan menjadi satu-satunya pihak yang concern dengan nasib umat Islam. Ini tentu menjadi tantangan.