Dalam beberapa hari terakhir, kebijakan Kementerian Agama (Kemeng) RI yang mengatur tentang penggunaan toa atau speaker pada masjid dan mushola menjadi kontroversi. Bahkan, sebagian kalangan menganggap kebijakan yang tertuang dalam SE Menag Nomor 1 Tahun 2024 itu sebagai kebijakan anti-Islam. Padahal, kebijakan itu dimaksudkan untuk mengatur penggunaan toa secara bijak sehingga tidak ada pihak yang merasa terganggu.
Dalam SE itu secara terang disebut bahwa SE itu dibuat untuk mengatur penggunaan toa atau speaker pada masjid dan musala guna menjaga ketertiban kehidupan bersama. Baik yang muslim maupun non-muslim. Dengan kebijakan itu, Kemenag berharap tidak ada pihak yang merasa terganggu dan dirugikan atas penggunaan speaker selama bulan Ramadhan. Karena itu, kebijakan ini tidak serta merta bisa dikatakan sebagai kebijakan anti-Islam.
Sebab, pada esensinya, dalam SE itu Kemenag tidak hendak melarang umat Islam untuk menggunakan toa, baik di musola maupun di masjid. SE itu hanya sebatas mengatur bagaimana penggunaan toa dioperasikan sebijak mungkin agar tidak ada yang terganggu oleh penggunaan toa di masjid-masjid dan mushola. Pengaturan penggunaan toa masjid sepanjang Ramadhan itu meliputi banyak hal, mulai dari waktu shalat lima waktu, shalat tarawih, dan hingga idul fitri.
Bukan Kebijakan Anti-Islam
Jadi, pembatasan penggunaan toa sepanjang Ramadhan bukanlah kebijakan anti-Islam, melainkan langkah yang diambil untuk mempromosikan toleransi, penghargaan terhadap waktu ibadah, dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat yang beragam. Ramadhan adalah bulan suci bagi umat Islam di mana mereka berpuasa dari fajar hingga matahari terbenam sebagai bagian dari ibadah dan refleksi spiritual. Dalam konteks ini, pembatasan penggunaan toa bertujuan untuk menghormati praktik ibadah ini dan memastikan bahwa umat Muslim dapat menjalankan puasa mereka dengan khusyuk dan tanpa gangguan yang tidak perlu.
Sebaliknya, pembatasan penggunaan toa sepanjang Ramadhan justru mencerminkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan dalam masyarakat. Dengan menghormati praktik ibadah umat Muslim, pemerintah atau otoritas yang bertanggung jawab menunjukkan sikap yang inklusif terhadap semua warga negara, tanpa memandang agama atau keyakinan mereka. Ini adalah contoh konkret dari bagaimana kebijakan publik dapat dipandu oleh prinsip-prinsip kesetaraan dan penghargaan terhadap pluralisme dalam masyarakat.