Sebuah berita mengejutkan, namun menggembirakan datang di akhir bulan Juni lalu. Belasan tokoh Jamaah Islamiyyah, yang dipimpin Abu Rusydan membacakan deklarasi pembubaran organisasi tempat selama ini mereka bernaung. Deklarasi pembubaran JI itu memuat enam poin penting. Pertama, pembubaran organisasi Jamaah Islamiyyah dan komitmen kembali ke NKRI.
Kedua, perubahan kurikulum lembaga pendidikan dan pesantren dibawah naungan JI ke arah paham ahlussunnah wa jamaah. Ketiga, membentuk tim pengkajian kurikulum dan materi ajar. Keempat, siap telibat aktif mengisin kemerdekaan, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang maju dan makmur.
Kelima, bersedia mematuhi aturan hukum yang berlaku di Indonesia dan segala konsekuensinya. Keenam, hal-hal yang berkaitan dengan kelima poin tersebut akan dibicarakan dengan pemerintah, khusunya Densus 88.
Deklarasi ini tentu patut disambut gembira. Pembubaran diri JI secara sukarela adalah langkah maju dalam pemberantasan terorisme. JI selama ini dikenal sebagai organsiasi teroris yang mendalami berbagai aksi teror dan kekerasan atas nama agama di Indonesia. Mulai dari rangkaian bom gereja di malam Natal (2000), bom Bali 1 (2002), bom Bali 2 (2005), dan aksi teror lainnya.
Pergeseran Strategi Gerakan Ekstremisme Pasca Bubarnya JI
Sepak terjang JI dalam gerakan terorisme dianggap paling berbahaya ketimbang organisasi lain. Tersebab, aksi teror yang didalangi selalu tersusun rapi, berskala besar, dan menimbulkan dampak destruktif yang masif. Maka, pembubaran diri JI adalah sebuah capaian dari agenda pemberantasan ekstremisme terorisme yang patut dibanggakan.
Pasca pembubaran diri JI, peta gerakan rasikalisme dan ekstremisme agama di Indonesia tentu sedikit banyak akan mengalami berbagai pergeseran. Bagiamana pun juga, JI bukanlah satu-satunya organsiasi radikal teror di negeri ini. Masih ada organ lain, seperti Jamaah Ansharut Daulah, Jamaah Ansharut Tauhid, ISIS, maupun jaringan lain yang sifatnya lebih kecil.
Itu artinya, bubarnya JI bukanlah akhir dari gerakan radikal keagamaan di negeri ini. Bubarnya JI juga tidak serta merta menihilkan potensi atau ancaman rasikalisme terorisme di negeri ini. Apalagi jika melihat tren beberapa tahun terkahir ini, dimana paham dan gerakan radikal ekstrem justru lebih banyak dijajakan melalui sarana digital, seperti internet dan media sosial.
Bubarnya JI tentu harus disikapi dengan cermat. Artinya, kita perlu menyusun ulang agenda pemberantasan gerakan ekstremisme pasca bubarnya JI tersebut, yakni dari pendekatan keras (hard approach) ke pendekatan lunak (soft approach).
Pendekatan keras dengan mengerahkan kekuatan koersif negara seperti polisi dan militer diperlukan untuk menumpas sel-sel teroris yang masih aktif. Di titik ini, kira harus mengapresiasi kinerja aparat keamanan yang sigap memburu pelaku teror dan menumpas karangannya. Terbukti angka terorisme menunjukkan penurunan signifikan saban tahunnya. Puncaknya, pada tahun 2023 lalu kita berhasil mewujudkan zero attack terrorism.
Pendekatan Lunak Memberantas Ekstremisme-Terorisme
Kini, ketika aksi teror dapat ditekan ke angka paling minimal, agenda pemberantasan radikalisme dan ekstremisme idealnya difokuskan ke pendekatan lunak (soft approach). Pendekatan lunak ini dapat diklasifikasikan ke dalam setidaknya tiga langkah penting.
Pertama, melanjutkan sekaligus menyempurnakan program deradikalisasi yang selama ini dijalankan, terutama oleh BNPT. Seturut data BNPT di tahun 2022, jumlah narapidana terorisme di seluruh Lapas di Indonesia mencapai angka seribu lebih.
Mengembalikan mereka ke pangkuan NKRI adalah tugas berat yang tentu membutuhkan sinergi lintas sektor. Ke depan, kita perlu menyempurnakan desain deradikalisasi, dengan tidak hanya mengedepankan pendekatan keagamaan, namun juga pendekatan sosial dengan memberdayakan mereka secara ekonomi.
Kedua, memperkuat narasi kontra ekstremisme di media sosial sebagai lawan tanding dari arus deras provokasi agama yang membanjiri kanal media sosial. Medsos saat ini telah menjadi arena battle ground wacana dan ideologi agama.
Siapa yang bisa mendominasi produksi wacana dan ideologi di dalamnya, dipastikan akan menjadi pemenang atas kontestasi ideologi tersebut. Maka, memperkuat narasi kontra ekstremisme adalah upaya menguasai jagat maya dengan narasi kesagaman yang toleran, moderat, dan nasionalis.
Ketiga, mengarusutamakan paradigma moderasi beragama ke seluruh umat, khususnya kelompok milenial dan generasi Z. Paradigma moderasi beragama penting untuk membentengi umat dari perilaku dan cara pandang kesagaman yang berlebihan dan menjurus pada Intoleransi bahkan kekerasan. Moderasi beragama harus menjadi narasi kesagaman arus utama di tengah bangsa yang majemuk ini. Dengan begitu, virus ideologi ekstrem tidak akan punya tempat untuk hidup dan berkembang di negeri ini.
Arkian, bubarnya JI tentu membawa konsekuensi logis, yakni perubahan peta gerakan radikal. JI seperti kita tahu merupakan induk organisasi dimana banyak sel teroris bernanung. Bubarnya JI bisa jadi membuat para sel teroris itu justru berpencar, membentuk sel-sel baru yang sukar diidentifikasi aparat.
Tidak menutup kemungkinan juga, para eks-JI yang tidak sepakat dengan sikap para senior yang membubarkan organisasi itu akan mengalihkan perjuangan ideologisnya ke ranah digital. Pergeseran pola gerakan ekstremisme ini tentu patut disikapi dengan cermat. Yakni dengan mendesain ulang agenda pemberantasan ekstremisme, dari pendekatan keras ke pendekatan lunak.