Dalam beberapa tahun belakangan, kita melihat adanya gelombang peningkatan minat belajar agama di kalangan anak muda (milenial dan generasi Z). Animo kaum muda belajar agama ini menarik, terutama di tengah menguatnya gelombang sekulerisme dan atheism yang melanda negara-negara Barat, bahkan Timur Tengah.
Penelitian yang dilakukan oleh PPIM Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2021 misalnya menyebut bahwa anak muda di enam kota besar di Indonesia menunjukkan kecenderungan tersebut. Meski demikian, ada fakta menarik yang patut digaris bawahi dari penelitian ini.
Yakni adanya temuan bahwa mayoritas (80 persen lebih) responden mengaku memilih belajar agama dengan cara informal. Maksudnya, mereka enggan belajar agama secara formal, seperti menjadi santri di pondok pesantren atau sekolah keislaman formal lainnya. Alih-alih itu, mereka lebih suka belajar agama melalui media digital.
Sebanyak 84 persen responden mengaku bahwa media sosial adalah sumber utama mereka dalam belajar agama. Alasannya, mereka menganggap kajian keagamaan di media sosial lebih mudah diakses kapan saja, dimana saja, dan kebanyakan disampaikan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti. Para responden juga mengaku bahwa kajian keagamaan di medsos cenderung membahas hal yang relate dengan problem kehidupan yang mereka hadapi.
Euforia Belajar Agama di Internet
Fenomena meningkatnya ghiroh (antusiasme) anak muda belajar agama ini memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi, kita patut mengapresiasi fenomena tersebut. Bagaimana pun juga, agama adalh sumber moral bagi kehidupan manusia. Ghiroh belajar agama kaum muda tentu menjadi sesuatu yang menjanjikan bagi masa depan agama itu sendiri.
Namun, di sisi lain kita patut menyoroti kecenderungan metode belajar agama mayoritas anak muda yang lebih condong pada kajian keagamaan di media digital ketimbang model pendidikan formal. Hal inilah yang membuat kaum muda abai pada urgensi sanad dalam belajar agama, dan lantas membuat fenomena belajar agama itu terjebak pada euforia semata.
Dalam belajar agama, terminologi sanad ini sangat penting. Secara sederhana, sanad bermakna orang yang meriwayatkan hadis. Dalam konteks yang lebih luas, sanad diartikan sebagai historisitas keilmuan, yakni jalur transmisi keilmuan Islam yang bersambung pada Rasulullah Muhammad. Dalam belajar Islam, sanad ini menjadi variabel pokok dalam belajar agama.
Maka, kita wajib memastikan guru, ustad, kiai, atau ulama tempat kita belajar ilmu agama itu memiliki sanad keilmuan yang bersambung ke Rasulullah. Sanad ini penting untuk mencegah adanya distorsi pemahaman keagamaan. Dengan memilih guru yang memiliki sanad yang jelas, kita bisa memastikan bahwa informasi dan pengetahuan yang disampaikan itu terjamin validitasnya. Tentu menjadi ironis, jika sanad yang menjadi variabel utama dalam belajar agama itu justru terabaikan.
Ada dua alasan mengapa sanad ini menjadi penting dalam transmisi keilmuan Islam. Pertama, sanad memastikan terjaganya aspek orisinalitas dan otentisitas ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Alquran dan hadist. Dengan adanya sanad yang jelas, kita bisa memastikan bahwa ajaran Islam yang kita pelajari itu asli dan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah; tidak dilebih-lebihkan, apalagi dikurang-kurangi.
Kedua, dengan sanad kita bisa mencegah distorsi ajaran Islam, seperti penyimpangan makna ayat Alquran maupun hadist. Seperti kita tahu, ayat Alquran dan hadist diturunkan atas sebab tertentu. Ada konteks ruang dan waktu yang melatari turunnya sebuah ayat maupun hadist. Atau dalam tradisi keilmuan Islam disebut sebagai asbabun nuzul dan asbabul wurud.
Mencegah Tiga Distorsi Islam
Ayat Alquran atau hadist tersebut tidak boleh ditafsiran secara serampangan. Hanya ulama atau kiai yang memiliki otoritas keilmuan mumpuni yang bisa menafsirkan ayat. Seperti pernah dijelaskan Gus Baha dalam pengajiannya, menafsirkan ayat Alquran dan hadist cukup merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik seperti Tafsir Al Thabari, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Al Qurtuby, Tafsir Jalain, dan Tafsir Al Suyuthi. Lima kitab tafsir paling populer itu sudah terjamin kesahihan dan validitasnya karena para penyusunnya memiliki sanad keilmuan yang jelas dan bersambung ke Rasulullah.
Tanpa memperhatikan sanad, ghiroh belajar agama kaum muda hanya akan berakhir menjadi euforia. Bahkan, pada titik tertentu ghiroh belajar agama tanpa sanad itu akan memunculkan distorsi keislaman yang fatal. Antara lain distorsi teologis, historis, dan sosiologis.
Distorsi teologis, seperti kesalahan memaknai ayat Alquran atau hadist sehingga melahirkan penyimpangan dalam konsep tauhid dan praktik peribadatan. Sedangkan distorsi historis mewujud pada adanya penyelewengan sejarah Islam yang hari ini karena umat belajar sejarah dari sumber yang salah atau tidak valid.
Terakhir, distorsi sosiologis itu tampak pada perubahan perilaku umat Islam yang tidak sesuai dengan prinsip dan nilai yang diwariskan oleh Nabi Muhammad. Seperti munculnya kultur kekerasan yang belakangan justru digandrungi sebagian umat Islam.
Arkian, mari kita kembalikan tradisi belajar agama secara talaqqi alias tatap muka. Jika pun harus belajar melalui media sosial, maka kita wajib memastikan agar guru, kiai, atau ulama yang kita pilih itu memiliki sanad keilmuan yang tinggi dan jelas bersambung kepada Rasulullah.