Daulah Islamiyyah; Reinkarnasi Terorisme Pasca Bubarnya JI

Daulah Islamiyyah; Reinkarnasi Terorisme Pasca Bubarnya JI

- in Narasi
97
0
Daulah Islamiyyah; Reinkarnasi Terorisme Pasca Bubarnya JI

Ketika Jamaah Islamiyyah (JI) membubarkan diri, banyak pihak meragukan bahwa itu akan menjadi akhir terorisme di Indonesia. Keraguan itu tervalidasi oleh penangkapan sejumlah teroris di Batu, Sukoharjo, dan Poso dalam beberapa hari terakhir.

Total ada 10 lebih tersangka teroris dibekuk Densus 88 Anti-Teror Polri. Salah satu terduga teroris yang ditangkap di Batu, bahkan sudah bersiap meledakkan dua gereja. Ada banyak fakta mencengangkan dibalik penangkapan tersangka teroris di Batu ini.

Mulai dari ditemukannya bahan peledak kategori high explosive sampai munculnya nama jaringan teroris baru, yakni Daulah Islamiyyah. Dalam peta terorisme di tanah air, nama Daulah Islamiyyah belum pernah terdengar sama sekali.

Pakar kajian terorisme, Ali Chaidar, sebagaimana dikutip CNN Indonesia menyebut bahwa Daulah Islamiyyah adalah gabungan antara pecahan JAD dan JI. Ia menyebut bahwa dua organisasi itu punya faksi sempalan dan lantas membentuk entitas baru bernama Daulah Islamiyyah.

Reinkarnasi Terorisme Pasca JI

Al Chaidar menegaskan, Daulah Islamiyyah ini secara spesifik menyasar kalangan remaja dan anak muda sebagai target indoktrinasi dan rekrutmen. Alasannya adalah karena anak muda apalagi remaja tergolong masih polos dalam beragama sehingga mudah dicekoki ideologi radikal.

Pernyataan Chaidar ini menjawab kecurigaan sebagian orang tentang bahwa pembubaran JI tidak diikuti oleh anggota di akar rumput. Ketika para senior JI mengubah haluan jihad dari aksi kekerasan ke jalan pendidikan dan sosial, sejumlah simpatisan di akar rumput tampaknya masih setia dengan garis perjuangan lama.

Bukan bermaksud menakut-nakuti, namun ke depan reinkarnasi terorisme seperti Daulah Islamiyyah ini tampaknya akan terus bermunculan. Ibarat rumput, mereka akan terus tumbuh selama lahan suburnya masih tersedia.

Dalam konteks terorisme, lahan subur itu adalah masyarakat yang beragama secara konservatif, yakni eksklusif dan intoleran. Selama konservatisme beragama masih lenggeng di tengah umat, maka bisa dipastikan radikalisme dan ekstremisme akan terus eksis. Konservatisme beragama adalah embrio bagi lahirnya perilaku kekerasan dan teror.

Ironisnya, pasca Reformasi kita menyaksikan sendiri bagaimana pendulum keberagamaan di kalangan muslim justru mengarah pada sentimen konservatisme. Wajah Islam moderat dan toleran yang menjadi ciri khas Islam Nusantara perlahan luntur. Corak Islam yang tekstualis, kaku, dan anti-perbedaan serta alergi pada kearifan lokal kini menjadi karakter yang mendominasi wajah Islam Indonesia.

Bagaimana Mencegah Radikalisme Kaum Muda?

Di tengah kondisi itulah, paham takfirisme dan bidahisme tumbuh subur. Segala ekspresi keagamaan yang tidak ada legitimasinya dalam teks lantas dengan mudah dicap sebagai bidah bahkan kafir. Labelisasi bidah dan kafir itu lantas menjadi semacam pembenaran atas tindakan teror dan kekerasan yang dilakukan kaum ekstremis.

Kelompok radikal-teroris selalu mengklaim aksi kekerasan yang mereka lakukan sebagai bagian dari menjaga sakralitas dan kemurnian ajaran Islam. Kelindan antara konservatisme dan puritanisme inilah yang membuat gerakan terorisme terus mengalami reinkarnasi. Hari ini mati, besok lahir kembali. Begitu seterusnya.

Apalagi di era digital seperti sekarang, ketika individu bisa terpapar paham radikal melalui media sosial. Inilah yang populer disebut dengan istilah self-radicalization alias swa-radikalisasi. Fenomena swa-radikalisasi terjadi lantaran banyak anak muda mengalami peningkatan ghiroh keagamaan, namun sayangnya tidak dibarengi dengan pengetahuan yang mumpuni tentang agama itu sendiri.

Alhasil, banyak anak muda hari ini belajar agama secara instan melalui kajian-kajian ustad di media sosial. Tanpa memahami bahwa materi kajian itu sebenarnya mengarah pada konservatisme bahkan ekstremisme. Ghiroh beragama tanpa diimbangi dengan literasi keagamaan yang mumpuni adalah celah bagi masuknya ideologi radikal di kalangan anak muda.

Maka, yang wajib kita lakukan sebenarnya adalah mengelola agar ghiroh keberagamaan di kalangan kaum muda itu tidak mengarah pada radikalisme dan ekstremisme. Lantas, bagaimana caranya? Pertama, kita harus menumbuhkan critical thinking di kalangan generasi Z. Terutama dalam mempelajari agama. Sikap kritis inilah yang akan menghindarkan mereka dari sikap taklid buta terhadap paham atau ajaran tertentu.

Sikap kritis akan mendorong anak muda untuk senantiasa berdialektika dan menemukan kebenaran dengan jalan diskursif, bukan dogmatik. Langkah kedua adalah membangun kesadaran di kalangan generasi Z bahwa mempelajari agama tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan bertahap dan bertumpu pada aspek historisitas keilmuan (sanad) yang jelas dan ketat.

Kesadaran akan pentingnya sanad keilmuan ini menjadi penting agar generasi Z yang tengah mengalami euforia belajar agama itu tidak salah memilih guru. Ada pepatah dalam tradisi sufistik yang mengatakan bahwa jika kita salah memilih guru, maka kita bisa terjerumus ke neraka bersama setan. Pepatah itu kiranya wajib dipahami oleh para gen Z yang tengah semangat belajar agama.

Terakhir, namun tidah kalah pentingnya adalah peran orang tua, guru/lembaga pendidikan, para tokoh agama dan organiasi keagamaan untuk terus menanamkan spirit moderasi beragama di kalangan anak muda. Moderasi beragama adalah benteng terakhir yang akan menyelamatkan generasi bangsa dari infiltrasi paham radikal.

Facebook Comments