Polemik seputar kebijakan lepas jilbab bagi Paskibraka tempo hari memang telah usai. Namun, ada hal menarik yang masih patut diperbincangkan. Jika diamati, yang paling kencang alias berisik bersuara dalam isu tersebut adalah kalangan konservatif.
Mereka tidak hanya mengritik kebijakan tersebut, namun juga menebar isu pemerintah anti-Islam atau islamofobia. Menariknya, kelompok konservatif ini juga kerap melontarkan penolakan atas simbol agama tertentu.
Misalnya, dalam momen natal, kaum konservatif kerap menolak pemakaian topi santa di tempat umum. Di sisi lain, kelompok konservatif juga kerap diam ketika terjadi pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah atau lembaga pendidikan.
Inilah yang disebut standar ganda, dan itu sudah menjadi ciri atau karakter kaum konservatif. Padahal, hakikatnya “melarang jilbab” dan “memaksakan jilbab” itu secara esensi sama. Yakni sama-sama melanggar hak asasi manusia.
Memakai atau tidak memakai simbol agama tertentu adalah pilihan individu yang dijamin konstisusi. Maka, memaksa individu untuk mengenakan atau tidak mengenakan atribut identitas tertentu pada dasarnya adalah tindakan melanggar hukum.
Jika kita lihat belakangan ini, masyarakat Indonesia tengah dilanda fenomena penyatuan identitas. Yakni fenomena yang menginginkan adanya peleburan atau penghapusan identitas untuk kemudian melahirkan identitas tunggal.
Penyatuan identitas ini biasanya berangkat dari premis bahwa keberagaman identitas adalah sumber konflik, dan cara satu-satunya untuk menganulir potensi konflik itu adalah dengan menyeragamkan perbedaan identitas tersebut. Penyeragaman identitas juga kerap dilatari oleh anggapan bahwa identitas lain itu merupakan musuh atau ancaman bagi eksistensinya.
Hasrat Penyeragaman Identitas oleh Kalangan Konservatif Maupun Liberal
Dalam konteks Indonesia kita melihat adanya kecenderungan penyeragaman identitas itu berkembang di dua kubu keberagamaan yang saling berlawanan. Kelompok konservatif menghendaki penyatuan identitas Islam mengerucut menjadi satu golongan saja, yakni golongan yang sesuai ideologi mereka.
Kaum konservatif menginginkan wajah Islam Indonesia ini tunggal sesuai apa yang mereka kehendaki. Di lapangan, praktik penyatuan identitas ini mewujud ke dalam banyak fenomena. Salah satunya adalah fenomena jilbabisasi siswa sekolah, bahkan merambah hingga ke siswa non-muslim.
Di sisi lain, kelompok liberal sekuler juga berusaha menyeragamkan identitas dengan melarang ekspresi simbol agama di ruang publik. Salah satunya dengan upaya mengeliminasi seluruh simbol atau ekspresi keagamaan di ruang publik. Kaum liberal berkeyakinan bahwa ruang publik harus steril dari unsur identitas agama. Dengan begitu, potensi perpecahan karena perbedaan bisa diredam.
Penyatuan identitas, siapa pun pelaku dan apa pun motifnya tetap tidak dapat dibenarkan. Penyatuan identitas adalah bagian dari obsesi hegemonik untuk mendominasi alias menundukkan individu atau kelompok tertentu. Obsesi hegemonik ini jelas akan merusak tatanan ruang publik yang plural. Hasrat untuk menjadi dominan di tengah masyarakat kerap membuat individu atau kelompok bersikap intoleran dan arogan.
Bangsa ini didirikan dengan spirit pengakuan atas keragaman identitas. Pancasila hadir sebagai jembatan untuk merekognisi identitas agama, sosial, dan politik. Spirit Pancasila dalam hal identitas bertumpu pada kesetaraan, bukan penyatuan apalagi penyeragaman. Maka, jika kita setia pada prinsip Pancasila, idealnya tidak ada lagi pemaksaan maupun pelarangan atas simbol atau atribut yang merepresentasikan identitas tertentu.
Bagaimana Mencegah Obsesi Hegemonik?
Simbol atau atribut identitas seharusnya mendapat porsi yang sama untuk diekspresikan di ruang publik. Agar kita terhindar dari obsesi hegemonik dan penyatuan identitas, kita wajib melakukan beberapa langkah.
Pertama, memperluas wawasan kita dalam hal keberagaman identitas. Penting bagi kita untuk meluaskan bacaan demi mendapatkan pengetahuan yang kaya akan keaneragaman identitas agama dan budaya.
Kedua, memperbanyak pengalaman bersentuhan dengan identitas yang berbeda. Misalnya dengan memperluas pergaulan merambah ke kelompok yang berbeda latar belakang dan identitas. Lingkaran pergaulan yang luas dan beragam akan menghadirkan pengalaman sosiologis yang memperkaya perspektif kita ketika melihat kemajemukan.
Ketiga, menghapus prasangka dan kecurigaan terhadap individu atau kelompok yang berbeda identitas. Prasangka dan kecurigaan adalah akar kebencian dan permusuhan. Maka, relasi sosial yang sehat harus steril dari sentimen prasangka dan curiga.
Keempat, tidak menghakimi simbol atau ekspresi budaya dan identitas orang lain dengan label negatif. Setiap simbol atau ekspresi identitas itu pasti mengandung makna dan tujuan. Kewajiban kita adalah menghormati dan memahami. Jangan sampai kita menyepelekan, apalagi menganggap rendah simbol atau ekspresi orang lain.
Arkian, mari kita rawat keberagaman sebagai ruh bangsa. Kita hilangkan kehendak untuk menyeragamkan atau menyatukan identitas. Biarlah identitas dan segala ekspresi atau simbol yang selama ini hadir di ruang publik itu tetap eksis sebagaimana mestinya. Jangan sampai, kehendak untuk menyeragamkan identitas itu justru menimbulkan polemik dan kontroversi yang menyulut konflik.