Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, pemuda selalu menjadi motor penggerak perubahan dan perbaikan. Sejarah mencatat, perlawanan-perlawanan terhadap kolonialisme banyak diinisiasi oleh gerakan berbasis kepemudaan. Dari aktivisme melalui organisasi Budi Utomo yang didirikan pada Mei 1908 hingga bersatunya organisasi-organisasi pemuda Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dan lainnya untuk melakukan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Semua basis gerakan kepemudaan itu meneriakkan kata yang serupa, “lawan kolonialisme!”. Menjelang kemerdekaan, pemuda juga yang memotori percepatan proklamasi kemerdekaan, memaksa golongan tua untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan tanpa menunggu mandat dari Jepang. Hingga akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Lalu, pemuda pulalah yang memotori gerakan-gerakan reformasi menuju demokratisasi Indonesia yang dirasakan saat ini. Tak hanya itu, masih banyak lagi aktivisme pemuda yang terus menggeliat sekarang, yang pada akhirnya memupuk optimisme dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Hanya saja, dalam upaya memasifkan gerakan kepemudaan untuk mencapai tujuan kemerdekaan bangsa, tantangan-tantangan selalu akan datang. Dan, tantangan yang paling mungkin dihadapi oleh gerakan berbasis kepemudaan kekinian adalah potensi radikalisasi dan pecah-belah karena kegagalan dalam menginterpretasi informasi yang mudah didapatkan. Harus diakui, kemudahan informasi membuat gerakan radikalisasi mudah disebarkan dan narasi-narasi pecah belah oleh buzzer perusak persatuan serta konten-konten media sosial berisi ujaran kebencian juga menjadi problem yang harus diselesaikan. Parahnya, narasi seperti ini seringkali mudah viral, hingga tak jarang memicu perselisihan dan hate-speech di dunia maya. Yang terbaru ialah, viralnya ujaran kebencian kepada Najwa Shihab di Tiktok dan pembakaran buku karyanya. Sungguh miris. Mengingat pelakunya juga mayoritas ialah pemuda yang melek teknologi.
Oleh sebab itu, perlu adanya keseriusan dalam mengatasi potensi kerusakan dalam sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa. Pemuda perlu berperan lebih masif dalam aktivisme-aktivisme yang dapat memupuk persatuan dan kesatuan, serta menjaga dan merawat NKRI dari ancaman-ancaman perpecahan. Dalam konteks ini, aktivisme tidak hanya harus menggeliat di dunia nyata, namun juga dunia maya.
Literasi bermedsos
Dalam konteks dunia maya, hal penting yang harus diinjeksikan dalam berselancar di media sosial oleh para pemuda ialah kemampuan literasi bermedsos. Literasi bermedsos ini mencakup semua bentuk ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.
Literasi bermedsos memungkinkan pemuda menjadi cerdas media sosial dengan cara terbiasa mengumpulkan informasi dan mengelolanya secara efektif. Melalui pembiasaan mengasah keterampilan literasi dalam bermedsos, mereka juga dapat belajar bagaimana caranya agar memiliki kematangan emosi dan karakter damai sehingga tidak terhasut radikalisasi, ujaran kebencian, dan narasi pemecah-belah bangsa. Mereka dapat dengan sendirinya mengelola informasi yang didapatkan, namun tidak mentah menerima hoaks karena telah melakukan verifikasi informasi melalui beragam sumber informasi, sehingga bisa membangun pengetahuan baru yang lebih efektif, dan selanjutnya mampu memberikan kontribusi positif bagi penggunaan media sosial. Mereka juga kritis dan tidak anti-keberagaman. Selalu menghargai sesama dan perbedaan-perbedaan pendapat.
Menjadi agen
Dalam konteks aktivisme, pemuda selalu menjadi agent of change (agen perubahan). Peranan ini sungguh sudah terbukti dari waktu ke waktu. Maka itu, melekatkan tanggung jawab merawat persatuan kepada pemuda semestinya menjadi pilihan tepat. Oleh karenanya, jangan sampai terdapat kegagalan pemuda dalam memahami bahasa keberagaman. Ini karena kegagalan tersebut akan menjadi kegagalan pula dalam memahami bahasa persatuan yang berpotensi menyebabkan ketersinggungan atar anak bangsa.
Secara lebih lanjut, semakin banyak pemuda yang sadar tentang pentingnya persatuan; di sisi lain, mempersempit ruang gerak mereka yang berusaha merobohkan kesatuan antar elemen bangsa. Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983) menyebutkan, batas sebuah bangsa adalah kesadaran kolektif sekelompok orang mengenai nilai dan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sejak pendirian bangsa tersebut. Dan, batas kebangsaan kita sendiri adalah persatuan dan kesatuan yang berdasar pada “Pancasila”. Oleh karenanya, gerakan aktivisme pemuda harus bersama-sama berupaya membumikan Pancasila agar NKRI tetap utuh berdiri sebagai sebuah bangsa.
Perlu diingat, kesadaran kolektif akan persatuan dan kesatuan ialah modal dari kemajemukan. Dengan mengedepankan kesatuan dalam implementasi literasi bermedsos, penulis optimis kalau gerakan-gerakan aktivisme pemuda akan terus hidup menjadi agen perubahan dan menjaga NKRI dari pecah-belah. Sungguh, pemuda ialah kekayaan bangsa yang sangat berharga, yang bisa menjaga pondasi NKRI tetap utuh dan kokoh. Wallahu a’lam bish-shawaab.