Indonesia sedang memasuki periode penting dalam demokrasinya dengan pelaksanaan Pilkada serentak. Momentum ini menjadi arena politik untuk menentukan pemimpin di tingkat regional. Meski begitu, laiknya di banyak negara demokrasi lainnya, kontestasi politik di Indonesia seringkali lebih menyerupai perang narasi daripada sekadar selebrasi pemilu.
Ketegangan di tengah masyarakat yang terpolarisasi, umpamanya, menjadi ladang subur bagi aktor-aktor yang memiliki kepentingan politik lain, termasuk kelompok transnasional yang menyebarkan ideologi khilafah Islam. Dalam konteks ini, media menjadi medan utama untuk memperebutkan dominasi wacana publik.
Di sini saya jadi teringat buku karya Niccolò Machiavelli: The Prince. Katanya, kekuasaan tidak hanya soal tindakan, tetapi juga tentang kontrol terhadap persepsi publik. Ini berarti pemimpin yang efektif harus memahami seni manipulasi, mengelola ketakutan dan harapan rakyatnya.
Di level budaya populer, teori itu terejawantah sangat paripurna, misalnya, dalam serial Game of Thrones dengan Daenerys Targaryen sebagai The Queen of The Seven Kingdom. Dalam konteks Pilkada, kita melihat prinsip Machiavelli ini juga diterapkan cukup nyata. Para kandidat kepala daerah berlomba menciptakan citra yang sesuai dengan kebutuhan konstituen mereka, baik melalui kebijakan populis, propaganda, atau bahkan serangan terhadap lawan politik. Gaya kampanye misoginis yang mencoba untuk melemahkan legitimasi pemimpin perempuan adalah salah satunya.
Di saat yang sama, media sosial dengan kuasa algoritmanya memperbesar polarisasi. Ia menjadi alat utama dalam memainkan “politik kekuasaan” ini. Kampanye hitam, berita palsu, dan narasi yang menghiperbolisasi ancaman dari pihak lain sering kali digunakan untuk membangun loyalitas buta. Machiavelli menyebut bahwa “manusia lebih cepat memaafkan kematian ayah mereka dibandingkan kehilangan harta mereka.” Di era Pilkada, narasi yang menakut-nakuti rakyat akan “kehilangan masa depan” atau “kerusakan moral” menjadi strategi yang efektif.
Namun demikian, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana kelompok transnasional seperti pendukung khilafah Islam memanfaatkan ketegangan politik lokal ini untuk menanamkan pengaruh mereka. Mereka bukan hanya menumpang gelombang konflik politik, tetapi juga merancang narasi yang menggambarkan sistem demokrasi sebagai gagal dan tidak sesuai dengan prinsip Islam.
Narasi Khilafah dalam Arus Ketegangan Lokal
Indonesia, dengan sejarah panjangnya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara, telah lama menjadi sasaran bagi kelompok transnasional yang ingin mengganti sistem ini dengan khilafah. Pilkada, dengan segala hiruk-pikuknya, menjadi peluang emas bagi kelompok-kelompok ini untuk menyusupkan gagasan mereka ke dalam percakapan publik.
Dan, media sosial menjadi kanal utama penyebaran narasi khilafah. Dalam konteks Pilkada, kelompok ini memanfaatkan dua strategi utama: pertama, menyusupkan narasi anti-demokrasi melalui kritik tajam terhadap sistem yang mereka anggap korup dan tidak Islami. Kedua, menciptakan ketakutan dan kecurigaan terhadap kandidat tertentu, seringkali dengan label “antek asing” atau “anti-Islam.” Pendekatan ini tidak hanya menggerus kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi, tetapi juga memperkuat polarisasi.
Jika dibaca menggunakan paradigma Machiavelli-an, kelompok-kelompok ini pada dasarnya sangat paham bahwa menciptakan musuh bersama adalah salah satu cara paling efektif untuk menggalang dukungan. Demokrasi dan sistem pemerintahan berbasis Pancasila sering kali dijadikan kambing hitam yang dianggap gagal memenuhi kebutuhan umat Islam. Dengan demikian, gagasan khilafah Islam seolah-olah dipromosikan sebagai solusi tunggal atas segala permasalahan.
Peran Media dalam Menavigasi Ketegangan
Ruang Media di Indonesia, baik arus utama maupun alternatif, sebetulnya memiliki peran penting dalam membentuk opini publik selama masa Pilkada. Namun, dalam banyak kasus, media justru menjadi alat yang memperparah polarisasi. Berita-berita sensasional yang mengangkat konflik antar-kelompok seringkali menjadi magnet klik, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kohesi sosial.
Langkah dan improvisasi ini pada gilirannya justru akan memperburuk fragmentasi sosial, apalagi dalam konteks demokrasi modern. Ketika media terlalu sibuk mengejar keuntungan ekonomi, mereka kehilangan peluang untuk mempromosikan diskursus yang sehat dan edukatif.
Dalam kasus penyebaran ideologi khilafah, media yang tidak kritis justru menjadi medium penyebaran propaganda. Artikel-artikel opini atau konten video yang menggiring opini tanpa fakta menjadi bagian dari strategi kelompok transnasional untuk memperluas basis pendukung mereka. Narasi semacam ini sering kali mengaburkan garis antara kritik yang konstruktif terhadap demokrasi dan seruan untuk menggantinya dengan sistem yang otoritarian.
Melampaui Polarisasi
Untuk mengatasi ancaman ini, Indonesia perlu melampaui strategi politik Machiavellian yang hanya fokus pada manipulasi narasi untuk memenangkan kekuasaan jangka pendek. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang publik yang inklusif dan edukatif, di mana masyarakat dapat berdialog tanpa rasa takut akan polarisasi atau ancaman ideologis.
Peran media menjadi sangat vital dalam menciptakan ruang ini. Media harus kembali pada prinsip dasar jurnalisme: menyediakan informasi yang akurat, berimbang, dan mendorong debat publik yang konstruktif. Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk membangun literasi digital yang kuat, sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh narasi ekstremis.
Memang, Machiavelli pun pernah bilang bahwa “seorang pangeran harus belajar bagaimana tidak menjadi baik, dan menggunakan pengetahuan sesuai dengan kebutuhannya.” Dalam konteks Pilkada, mungkin pelajaran ini relevan dalam jangka pendek.
Walau begitu, untuk menjaga keberlangsungan demokrasi, Indonesia harus berani melampaui pendekatan pragmatis Machiavellian dan mempromosikan nilai-nilai yang lebih tinggi: keadilan, inklusivitas, dan harmoni sosial. Mengapa?
Sederhana saja, Pilkada adalah cermin dinamika demokrasi Indonesia. Jika kita mampu mengelola ketegangan dan menghadapi ancaman ideologis dengan bijak, ia tidak hanya menjadi proses politik, tetapi juga pelajaran berharga tentang bagaimana membangun bangsa yang kokoh di tengah keberagaman.