Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kembali menggelar sosialisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengawasan Perbatasan yang diselenggarakan di ibukota Sulawesi Utara, Manado. Acara sosialisasi ini dimulai tanggal 10-11 Desember 2015 yang dihadiri oleh instansi instansi terkait di Sulut yang akan dibuka oleh Kepala BNPT Dr. Komjen Pol. Saud Osman Nasution dan sejumlah pejabat-pejabat daerah setempat.
Penyelenggaraan SOP Pengawasan perbatasan ini dinilai sangat penting dan strategis oleh semua pihak mengingat perbatasan merupakan salah satu lalu lintas warga sehingga harus dikontrol secara intensif. Selama ini wilayah –wilayah perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapore dan Filipina sangat rentan dengan aktifitas jaringan terorisme khususnya yang terkait dengan penyelundupan senjata dan pengiriman anasir-anasir terorisme ke luar negeri termasuk ke wilayah selataan Filipina yan berbatasan langsung dengan Sulawesi Utara untuk berlatih di wilayah yang dikuasai oleh kelompok terorisme di negara itu seperti, Abu Sayyaf . Oleh karena itu mekanisme pegawasan perbatasan mutlak dibutuhkan dalam upaya mencegah arus jaringan terorisme.
Di beberapa negara baik di Asia selatan maupun di Timur Tengah dan Afrika Utara dan Timur perbatasan merupakan wilayah garapan kelompok terorisme yang sering kali sulit dikendalikan oleh aparat keamanan mengingat wilayah wilayah tersebut sering kali luput dari perhatian pemerinth khususnya jika perbatasan antar negara hanya dipisah dengan daratan. Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara dan Timur membentuk kerjasama pengawasan perbatasan untuk membendung lalu lintas anasir-anasir ISIS yang berkeliaran di perbatasan-perbatasan dan umumnya kerjasama dimaksud mendapat dukungan dari negara-negara asing dengan tujuan menghindari eskalasi jaringan terorisme. Eskalasi konflik yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah umumnya disebabkan oleh minimnya control terhadap perbatasan sehingga membuat kelompok-kelompok ekstrim yang memiliki agenda terselubung memanfaatkan situasi tersebut dan ikut serta berkonstribusi dalam beberapa konflik di Timur Tengah.
Para kelompok tersebut cenderung menjadikan wilayah perbatasan yang sedang konflik menjadi medan pelatihan anasir-anasir ISIS dan kelompok ekstrim lainnya dan menjadikan sebagai basis perjuangan melawan pemerintahan di setiap negara yang dianggap sebagai pemerintahan toghut. Bahkan senjata-senjata yang diperoleh dimasukkan melalui perbatasan yang sulit dikontrol oleh aparat keamanan.
Walaupun perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga yang umumnya dipisah dengan laut kecuali Malaysia namun hal tersebut masih juga sangat rentan untuk menjadi arus lalu lintas jaringan-jaringan teroris baik yang ingin masuk atau keluar dari dan ke Indonesia. Selain itu, perbatasan dimaksud juga sering kali menjadi ajang penyelundupan manusia yang tidak menutup kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstrim sebagai salah satu sarana untuk merekrut dan melatih kader-kadernya yang tersebar dimana-mana.