Pasca runtuhnya Orde Baru, lanskap sosial keagamaan kita diwarnai oleh satu fenomena baru, yakni kegalauan identitas. Utamanya di sebagian kalangan umat Islam. Berakhirnya Orde Baru sekaligus juga menandai kebijakan mono-kulturalisme yang memaksa warga negara untuk mengadaptasi konsep single identity alias identitas tunggal.
Seperti kita ketahui, pemerintahan Orde Baru cenderung membatasi ekspresi kultural keagamaan di ruang publik. Semua identitas diseragamkan ke dalam satu versi yang diakui pemerintah. Pancasila yang seharusnya mengayomi kebinekaan pun lebih sering dijadikan sebagai alat politik.
Ketika keran kebebasan berekspresi dibuka lebar oleh gerakan Reformasi, kontestasi identitas terutama keaagamaan di ruang publik pun tidak terelakkan. Di lingkup sosiologis, fenomena itu tampak pada kian masifnya penggunaan atribut dan simbol di Islam di ruang publik.
Misalnya penggunaan baju muslim, jilbab, dan gaya hidup islami lainnya. Sedangkan di ranah politik, fenomena itu menggejala pada munculnya kembali gerakan formalisasi syariah melalui berdirinya negara Islam.
Kontestasi Identitas Keislaman
Kini, dia dekade lebih era Reformasi berjalan, kegalauan identitas itu kasih terasa nyata di kalangan umat Islam. Mengutip Azyumardi Azra, saat ini terdapat setidaknya tiga identitas keislaman yang berkembang di Indonesia. Pertama, identitas keislaman tradisional. Yakni kelompok muslim yang adaptif pada tradisi lokal.
Kelompok ini diwakili terutama oleh komunitas besar nahdliyin yang merupakan golongan mayoritas di negeri ini. Kaum nahdliyin tidak mempersoalkan akulturasi budaya dan identitas. Bagi muslim tradisional, identitas keislaman, keindonesiaan, dan lokalitas itu bisa diekspresikan dalam satu wajah, alias tidak perlu dipisahkan.
Kedua, identitas Islam progresif yang merujuk pada praktik keislaman kalangan moderat yang menganggap Islam sebagai sebuah world view untuk membangun peradaban. Kelompok ini tidak lagi adaptif pada tradisi lokal, meski tidak juga bersikap anti-pati. Namun, kelompok ini juga tidak mendukung ide formalisasi syariah.
Identitas Islam progresif ini direpresentasikan oleh kelompok kecil intelektual Islam yang bernaung di lembaga pendidikan tinggi, ormas keislaman, lembaga sosial kemasyarakatan, atau lembaga riset ilmiah sejenisnya. Kelompok ini bisa dikatakan minoritas dalam lanskap keislaman di Indonesia.
Ketiga, identitas Islam transnasional. Yakni umat Islam yang anti pada lokalitas dan prinsip kebangsaan lantaran menganggapnya sebagai bukan bagian dari Islam. Identitas Islam transnasional ini direpresentasikan oleh kelompok yang getol mendukung formalisasi syariah, daulah Islamiyyah, dan khilafah Islamiyyah yang diusung oleh organisasi Islam transnasional seperti Hizbut Tahrir.
Harus diakui, meski secara jumlah tidak besar, namun kelompok ketiga ini cenderung mampu mendominasi produksi wacana keagamaan di Indonesia. Hal itu terjadi karena mereka sangat aktif di jejaring komunikasi digital terutama media sosial yang menjadi arena baru bagi kontestasi wacana agama.
Kembali ke Karakter Pluralis Masyarakat Nusantara
Maka, seperti kita lihat hari ini, narasi membenturkan identitas keislaman, keindonesiaan, dan lokalitas begitu kencang di media sosial. Hal ini berpotensi menimbulkan fenomena kekerasan sektarian ke depan. Ketika umat Islam Indonesia, terutama kelompok milenial dan generasi Z kehilangan identitas keindonesiaan, maka saat itulah bangsa ini mengalami krisis identitas.
Situasi krisis identitas akan menjadi celah bagi masuknya ideologi transnasional seperti khilafah atau daulah Islamiyyah untuk mendominasi ruang publik beragama kita. Jika itu disikapi permisif, maka pecahnya konflik sektarian berbasis identitas keaagamaan hanya tinggal menunggu waktu. Gejala konflik sektarian ini sebenernya sudah muncul hari ini, meski belum berwujud kekerasan fisik.
Misalnya, tudingan ahli bid’ah yang ditujukan pada kelompok muslim tradisional, atau golongan sekuler liberal yang dialamatkan pada kelompok progresif. Labelisasi itu tidak lain merupakan bentuk kekerasan verbal yang berbahaya. Labelisasi adalah awal dari kekerasan fisik dan teror yang destruktif.
Kita tentu tidak ingin kembali ke model penerapan identitas tunggal seperti zaman Orde Baru. Namun, kita juga tidak boleh permisif pada fenomena krisis identitas ini. Itu artinya, kita harus kembali ke model masyarakat plural (plural society) yang menjadi karakter masyarakat Nusantara. Masyarakat plural dibangun di atas kesadaran bahwa sebuah bangsa atau negara itu terdiri atas identitas yang majemuk, alih-alih tunggal. Dalam leksikon ilmu sosial, kesadaran ini disebut multikulturalisme.
Multikulturalisme bukan berarti kita menoleransi relativisme kultural, yang justru membuat individu tercerabut dari identitas aslinya. Sebaliknya, multikulturalisme justru mendorong individu untuk percaya bahwa bangsa atau negara yang kuat itu dibangun diatas keagamaan identitas.
Contohnya, Amerika Serikat bisa maju karena dibangun oleh masyarakat yang multietnis dan multireliji. Perusahaan-perusahaan raksasa di negara adidaya itu mempekerjakan pegawai dari beragam latar belakang. Perusahan tidak melihat identitas agama, etnis, kebangsaan, atau warna kulit, bahkan orientasi seksualnya, namun semata mempertimbangkan kompetensinya. Itulah perwujudan dari multikulturalisme yang sesungguhnya.
Kegalauan identitas di kalangan muslim ini membuat kita berada di persimpangan jalan. Jika identitas Islam transnasional berhasil mendominasi lanskap keberagaman kita ke depan, maka dipastikan bangsa ini akan tersandera oleh konflik sektarian. Sebaliknya, jika identitas tradisional dan progresif mampu menguasai algoritma wacana keberagamaan, maka dipastikan kita akan terhindar dari konflik sektarian.