Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

- in Narasi
1
0
Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang oleh waktu: Pesta Rakyat. Dari Sabang hingga Merauke, di gang-gang sempit perkotaan hingga lapangan desa yang luas, udara dipenuhi aroma persatuan.

Tawa anak-anak yang beradu cepat dalam balap karung, sorak-sorai penonton yang memberi semangat pada peserta panjat pinang, dan wajah-wajah belepotan cokelat dalam lomba makan kerupuk semua melebur menjadi sebuah mozaik kebangsaan yang indah.

Pemandangan adalah manifestasi hidup dari “pelangi” Indonesia, sebuah bukti nyata dari teori yang imajinasikan oleh sarjana relasi lintas agama, Leonard Swidler, tentang semesta sebagai sebuah kosmik dialog.

Swidler mengajak kita membayangkan malam hari. Cahaya bulan yang syahdu, kerlip jutaan bintang, goyangan daun yang diterpa angin, bahkan napas kita sendiri, semua adalah elemen kosmik yang secara tak sadar terus-menerus berdialog, berinteraksi, dan bersepakat untuk menciptakan keindahan semesta.

Tidak ada yang mendominasi. Bulan tidak berusaha memadamkan bintang, angin tidak berniat merobohkan pepohonan. Semuanya hadir sesuai porsinya, menciptakan harmoni yang agung. Pesta Rakyat adalah panggung di mana teori ini turun dari ruang kosmik dan membumi.

Di sana, setiap individu dengan latar belakang suku, agama, dan status sosial yang berbeda adalah elemen kosmik yang sedang berdialog. Tawa menjadi bahasa universalnya, gotong royong menjadi sintaksisnya, dan kebersamaan menjadi kesepakatan agungnya. Mereka sedang merajut semesta kecil yang rukun dan damai.

Namun, kosmik dialog yang terwujud dalam Pesta Rakyat ini tidaklah berlangsung di ruang hampa. Di era globalisasi ideologi transnasional yang kaku terus berusaha menutupi pelangi kebangsaan ini. Ideologi-ideologi ini datang dengan narasi pemecah belah, membawa palu godam untuk meretakkan fondasi Bhinneka Tunggal Ika.

Mereka menawarkan satu warna sebagai kebenaran mutlak, menolak spektrum lain yang dianggap sesat atau salah. Mereka mendorong kita untuk saling curiga, untuk memandang tetangga sebagai “yang lain”, dan untuk mengganti harmoni dialog dengan kebisingan debat yang bertujuan saling mengalahkan. Ancaman ini nyata, merayap perlahan melalui gawai dan mimbar, berpotensi mengubah Pesta Rakyat yang penuh sukacita menjadi medan kecurigaan.

Di sinilah Pesta Rakyat mentransformasikan dirinya dari sekadar sebuah tradisi menjadi garda terdepan perlawanan budaya yang strategis. Ia menjadi arena bagi praktik dialog deliberatif yang paling otentik. Dialog deliberatif adalah antitesis dari debat. Jika debat bertujuan untuk menang, untuk membuktikan kebenaran ideologinya sendiri sambil menolak pandangan lawan, maka dialog deliberatif bertujuan untuk belajar dan memahami secara terbuka. Saripatinya bukan meyakinkan lawan bicara, melainkan membangun jembatan pemahaman untuk mencapai tujuan bersama. Pesta Rakyat adalah laboratorium raksasa bagi praktik mulia ini.

Lihatlah sekelompok pria yang menjadi tumpuan bagi sang pemanjat pinang. Pria paling bawah, mungkin seorang Muslim yang taat, menahan beban di pundaknya. Di atasnya, seorang pemuda Kristen menjejakkan kaki, dan di atasnya lagi, seorang warga keturunan Tionghoa berjuang untuk meraih hadiah di puncak.

Dalam momen itu, mereka tidak sedang berdebat tentang ayat suci atau konsep trinitas. Mereka sedang terlibat dalam dialog deliberatif yang paling murni. Tujuan bersama mereka jelas: meraih hadiah kemerdekaan yang tergantung di puncak. Untuk mencapainya, mereka harus saling percaya, saling menopang, dan saling memahami peran masing-masing.

Di sana, terjadi dimensi relasional yang paling hakiki: manusia bertemu manusia. Identitas primordial mereka luruh, tergantikan oleh identitas kolektif sebagai satu tim, satu warga, satu bangsa.

Setiap permainan dalam Pesta Rakyat adalah sesi dialog deliberatif. Lomba bakiak mengajarkan ritme dan keselarasan langkah bersama. Tarik tambang mendemonstrasikan bahwa kekuatan kolektif jauh melampaui kekuatan individu. Bahkan dalam kesederhanaan lomba makan kerupuk, ada pesan tentang perjuangan bersama dalam keceriaan.

Ini adalah dialog dalam bentuk tindakan (dialogue in action), di mana nilai-nilai persatuan, kerja sama, dan saling menghargai tidak hanya diceramahkan, tetapi dialami dan dirasakan secara langsung. Pengalaman inilah yang membangun imunitas sosial, semacam vaksin kebangsaan yang membuat masyarakat lebih kebal terhadap virus perpecahan yang disebarkan oleh ideologi transnasional.

Walakhir, Pesta Rakyat menegaskan kembali sebuah kebenaran fundamental. Tuhan tidak menciptakan pelangi dengan satu warna karena keindahan justru lahir dari perpaduan harmonis berbagai warna. Begitu pula Indonesia. Rumah besar ini akan selalu indah dan damai selama keragaman di dalamnya terorganisir dengan baik melalui dialog.

Pesta Rakyat adalah cara kita, dari tahun ke tahun, untuk mengorganisir keragaman itu. Ia adalah perlawanan budaya kita yang paling elegan dan penuh sukacita, sebuah deklarasi bahwa pelangi persatuan Indonesia, yang lahir dari kosmik dialog para pendiri bangsa dan terus dirawat melalui dialog deliberatif di tingkat akar rumput, tidak akan pernah bisa digantikan oleh warna monokrom mana pun.

Facebook Comments