Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa lalu, termasuk sistem Khilafah pada era Khulafaur Rasyidin.
Kelompok HTI mungkin melihatnya sebagai antitesis dari demokrasi modern. Namun, jika kita telaah lebih dalam, ada prinsip-prinsip fundamental dalam praktik pemerintahan Islam awal yang justru bisa menjadi cermin untuk memperkaya dan menguatkan demokrasi yang kita jalankan hari ini, bukan untuk melenyapkannya.
Tujuannya bukanlah meniru struktur masa lalu secara gelap mata, melainkan menyerap esensinya untuk menjawab tantangan zaman sekarang.
Demokrasi modern berdiri di atas pilar kedaulatan rakyat, dan jauh sebelum itu, sistem Khilafah telah meletakkan fondasi serupa. Kekuasaan seorang Khalifah tidak diwariskan secara turun-temurun, melainkan lahir dari persetujuan umat melalui mekanisme bai’at.
Proses ini bukanlah aklamasi massa yang buta, melainkan sebuah kontrak sosial yang legitimasinya diberikan oleh ahlul halli wal aqd, yaitu para cendekiawan dan tokoh masyarakat yang dianggap paling representatif. Prinsip bahwa kekuasaan harus diraih berdasarkan kapasitas dan kredibilitas, bukan garis keturunan, adalah semangat meritokrasi yang sangat relevan untuk menjaga kesehatan demokrasi kita.
Namun, legitimasi ini bukanlah cek kosong. Ia diiringi kewajiban bagi pemimpin untuk memerintah secara bijak melalui musyawarah. Meskipun tidak ada jabatan “menteri” formal, praktiknya sangat kental. Umar bin Khattab menjadi penasihat utama bagi Abu Bakar, dan Utsman bin Affan bagi Umar.
Khalifah juga membentuk Majelis Syura, sebuah dewan konsultatif yang membantunya dalam mengambil keputusan. Penting untuk dicatat, anggota dewan ini dipilih berdasarkan hak prerogatif Khalifah, bukan hasil pemilihan rakyat. Ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa menyamakan strukturnya dengan parlemen modern.
Namun, spiritnya jelas, seorang pemimpin, sekuat apa pun posisinya, tetap membutuhkan masukan dan pertimbangan dari orang-orang kredibel di sekelilingnya. Keterbukaan untuk mendengar ini secara alami menciptakan ruang bagi akuntabilitas. Seorang Khalifah tidak kebal dari kritik, terbukti dari sejarah ketika kebijakan Khalifah Utsman bin Affan dikecam secara terbuka.
Kasusnya sangat spesifik. Utsman mengambil alih pengelolaan kas negara (Baitul Maal) secara langsung dan meniadakan jabatan kepala pengelola yang sebelumnya dipegang oleh Abdullah bin Arqam, seorang yang terkenal sangat jujur dan disiplin.
Kebijakan ini diprotes keras oleh tokoh masyarakat karena dianggap sebagai sebuah kemunduran manajerial dan transparansi. Fakta bahwa kritik setajam ini bisa muncul menunjukkan adanya budaya pengawasan publik.
Hal ini menjadi sangat menarik ketika kita memahami betapa terpusatnya kekuasaan di tangan Khalifah. Ia memegang otoritas legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Ia bisa mengangkat atau memberhentikan seorang hakim (qadhi) kapan pun ia kehendaki.
Kekuasaannya sering disebut absolut. Lalu, bagaimana sistem dengan konsentrasi kekuasaan sebesar itu bisa berjalan tanpa menjadi tiran? Jawabannya terletak pada dua fondasi: integritas personal dan moralitas luhur para Khulafaur Rasyidin, yang diyakini sebagai para sahabat Nabi yang dijamin surga. Pengawas utama mereka bukanlah sistem, melainkan ketakwaan pribadi yang luar biasa.
Di sinilah letak pelajaran terpenting bagi demokrasi modern kita. Sistem Trias Politica dengan pembagian kekuasaan yang jelas diciptakan justru karena kita tidak bisa dan tidak boleh menggantungkan nasib negara hanya pada integritas personal seorang pemimpin.
Demokrasi modern membangun pagar-pagar sistemik untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, karena kita tidak dapat menjamin setiap pemimpin memiliki tingkat moralitas setara para sahabat Nabi.
Oleh karena itu, melihat sejarah Khilafah bukanlah untuk membongkar sistem pembagian kekuasaan yang sudah kita miliki. Sebaliknya, ini adalah pengingat bahwa sistem yang baik saja tidak cukup.
Pagar-pagar struktural demokrasi harus diisi oleh orang-orang yang juga memiliki integritas moral. Pelajaran yang kita petik adalah untuk menguatkan demokrasi kita di dua sisi: terus memperbaiki mekanisme sistemik kita, sambil tanpa henti menuntut dan memilih pemimpin yang paling kredibel dan berakhlak mulia. Dengan cara inilah kita menggali kearifan masa lalu untuk melompat lebih tinggi ke depan.