Ketika berbicara tentang jihad, kerap kali kita terjebak dalam narasi yang sempit dan reduktif, seolah ia hanya perihal pertumpahan darah dan gejolak di medan perang. Padahal, jika kita telaah lebih dalam, seperti yang ditunjukkan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah, spektrumnya jauh melampaui itu.
Bagi saya, esensi jihad adalah perjuangan untuk mendekonstruksi segala bentuk keburukan, baik yang eksternal maupun yang inheren dalam diri. Ia adalah sebuah etika perlawanan yang tak pernah usai.
Jika kita menelaah lebih jauh kita akan tahu bahwa narasi tentang Tariq bin Ziyad bukan sekadar catatan penaklukan geografis, melainkan sebuah epik tentang ekspansi peradaban. Ia membuktikan bahwa jihad bukanlah terminologi yang tereduksi menjadi aksi militer, melainkan sebuah gerakan holistik yang melingkupi epistemologi, etika, dan keadilan.
Narasi serupa bergema di bumi pertiwi kita, di mana para pemuda 1945 menginternalisasi semangat jihad sebagai pengorbanan total—sebuah afirmasi eksistensial atas kedaulatan bangsa dan martabat keagamaan. Kisah-kisah ini, pada esensinya, berfungsi sebagai cermin dialektis bagi generasi yang hadir belakangan.
Bagi Generasi Z, yang lahir dan tumbuh dalam labirin informasi digital, medan jihad telah berevolusi. Arena juang mereka bukan lagi melawan penjajah fisik, melainkan spektrum tantangan kontemporer: dari epidemik hoaks, radikalisme sempit, hedonisme, krisis identitas, hingga ketidakadilan global. Dengan demikian, jihad bagi mereka adalah jihad yang bersifat kultural dan peradaban, sebuah perjuangan yang menuntut sintesis harmonis antara iman, akal, dan karya.
Tiga Dimensi Jihad Kontemporer
Dalam tradisi pemikiran Islam, terutama melalui pemetaan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, jihad memiliki strata yang berlapis. Jihad al-nafs (perlawanan terhadap hawa nafsu) dianggap sebagai jihad terberat. Ini adalah substansi dari “jihad akbar” yang disabdakan oleh Rasulullah saw. Bagi Gen Z, manifestasi dari jihad ini adalah kemampuan untuk melakukan filtrasi informasi, menahan godaan budaya konsumtif, dan membangun disiplin intelektual dan spiritual.
Di tengah banjiran data dan kultur serba instan, jihad ini menuntut penguatan rasionalitas, literasi kritis, dan kesadaran moral. Sebab, sebagai entitas filosofis, intelektualitas tanpa moralitas hanya akan melahirkan kehancuran, sementara spiritualitas tanpa nalar akan berujung pada fanatisme buta.
Jihad tidak berhenti pada ranah individual. Ia bermanifestasi dalam ranah kebangsaan. Gen Z adalah pewaris dari narasi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konteks ini, jihad kebangsaan menuntut mereka untuk menjadi penjaga pluralisme, penolak intoleransi, dan pemadam ujaran kebencian.
Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari memberikan preseden teologis bahwa membela tanah air adalah imperatif keagamaan. Maka, jihad kebangsaan bagi Gen Z adalah aksi nyata merawat kebhinekaan, melawan narasi radikal yang membajak agama, serta menghidupkan Pancasila sebagai etika kolektif.
Selanjutnya, tantangan terbesar Gen Z juga merentang ke ranah ekonomi dan teknologi. Era disrupsi membawa ketidakpastian, namun juga membuka peluang. Islam menempatkan kerja keras sebagai bagian integral dari jihad. Nabi saw. bahkan menyatakan bahwa mereka yang bekerja untuk menafkahi keluarga memiliki derajat pahala yang tinggi. Oleh karena itu, jihad ekonomi bagi Gen Z bukanlah sekadar mencari nafkah, melainkan menciptakan nilai. Ini adalah perjuangan untuk membekali diri dengan keterampilan, membangun wirausaha, dan menolak mentalitas instan. Melalui jalan ini, mereka bertransformasi dari sekadar konsumen menjadi agen transformasi yang menciptakan kesejahteraan bagi umat.
Manifestasi Jihad: dari Bambu Runcing ke Pena dan Piksel
Di samping itu, ada dimensi jihad lain yang kian mendesak: jihad sosial, ekologis, dan kemanusiaan. Krisis iklim dan ketidakadilan global menuntut kesadaran bahwa manusia adalah khalifah yang ditugaskan untuk memelihara, bukan merusak. Maka, jihad ekologis bagi Gen Z adalah tentang restrukturisasi gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan memperjuangkan keadilan lingkungan. Sementara itu, jihad kemanusiaan menuntut solidaritas lintas batas, penyuarahak-hak kaum lemah, dan perlawanan terhadap kolonialisme modern dalam bentuk eksploitasi ekonomi.
Pada akhirnya, jihad bagi Gen Z adalah sebuah narasi yang terjalin dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ia hadir ketika mereka menekuni ilmu, menyebarkan kebaikan melalui media sosial, terlibat dalam gerakan sosial, berinovasi dalam ekonomi kreatif, serta menjaga integritas. Jika para pahlawan 1945 berjuang dengan bambu runcing, maka generasi Z berjuang dengan literasi, teknologi, dan solidaritas. Ini bukan lagi jihad dengan pedang, melainkan jihad dengan pena, kreativitas, dan akhlak.
Jika makna jihad ini terinternalisasi dengan benar, Gen Z tidak hanya akan menjadi tulang punggung peradaban Islam Nusantara, melainkan juga mercusuar yang memancarkan etika dan intelegensi Indonesia di kancah global. Sebuah perjuangan yang membuktikan bahwa jihad sejati adalah dialog abadi antara iman, ilmu, dan tindakan nyata.