Jebakan Formalisme Agama; Bagaimana Menafsirkan Gagasan Negara Islam dalam Bingkai Nusantara?

Jebakan Formalisme Agama; Bagaimana Menafsirkan Gagasan Negara Islam dalam Bingkai Nusantara?

- in Narasi
31
0
Jebakan Formalisme Agama; Bagaimana Menafsirkan Gagasan Negara Islam dalam Bingkai Nusantara?

Mengapa gagasan Negara Islam masih laku di tengah umat Islam? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang politik, kekecewaan pada sistem demokrasi yang belum sepenuhnya berhasil mewujudkan kesejahteraan dan keadilan menjadi alasan mengapa gagasan Negara Islam laku di tengah umat.

Dari sisi sosial, kesenjangan ekonomi dan finansial sebagai residu sistem kapitalisme liberal membuat imajinasi tentang negara Islam selalu abadi di benak umat Islam. Sedangkan dari sisi keagamaan, gagasan Negara Islam masih laku di tengah umat karena sebagian dari kita masih terjebak pada nalar formalisme agama.

Formalisme agama adalah mode berpikir yang menganggap bahwa hakikat beragama hanyalah menjalankan ritual atau mengadaptasi simbol agama tanpa perlu menyentuh hakikat subtansial dari ajaran agama itu sendiri.

Nalar formalisme mewujud pada perilaku umat beragama yang fokus pada bentuk, bukan isi, mementingkan kemasan, alih-alih inti ajaran, dan mengedepankan simbol ketimbang pengejawantahan nilai. Formalisme agama tumbuh subur lantaran sejumlah faktor.

Antara lain, pertama kesalahan tafsir atas ajaran agama. Ajaran agama ditafsirkan secara tekstual formalistik alias harfiah sehingga hanya mengungkap makna di permukaan tanpa menyentuh aspek subtansial (deep meaning).

Padahal, agama dijabarkan melalui teks yang diturunkan bertahap sesuai dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Artinya pesan dan ajaran agama itu harus ditafsirkan secara kritis dengan mendialogkan konteks turunnya ayat dan dinamika kontemporer. Kerancuan tafsir ini rawan menjebak umat pada logika formalisme agama.

Kedua, kemalasan berpikir umat yang cendrung melahirkan prilaku simplistik. Ketika umat beragama gagal atau malas menginternalisasi pola pikir rasional dan kritis, maka secara otomatis mereka akan terjebak pada nalar formalisme keagamanan. Agama lantas dijadikan sebagai alat membenarkan kemalasan berpikir tersebut.

Ketiga, formalisme agama lahir dari sikap fanatik pada klaim kebenaran agama tunggal. Sikap menganggap agama sendiri paling benar dan suci lalu merendahkan agama lain rawan menjerumuskan umat pada nalar formalisme agama. Bisa dibilang fanatisme dan formalisme agama adalah saudara kandung yang berasal dari rahim yang sama.

Terakhir, formalisme agama dalam konteks Islam juga dilatari oleh kerancuan dalam memahami hakikat negara Islam. Umat kerap masih berpegang pada tafsir klasik bahwa negara Islam adalah model pemerintahan ala khilafah abad pertengahan yang bercorak teokratis bahkan monarkis. Negara Islam dalam imajinasi khilafah abad Pertengahan adalah negara semi kerjaan dimana pemimpin diangkat berdasarkan garis keturunan dan memegang peran ganda sebagai pemimpin politik sekaligus spiritual.

Imajinasi itulah yang melatari munculnya anggapan bahwa demokrasi bukan bagian dari ajaran Islam. Pengharaman demokrasi dalam sistem politik Islam dengan demikian erat kaitannya dengan imajinasi khilafah di sebagian kalangan muslim.

Maka, salah satu cara agar umat keluar dasi jebakan formalisme agama adalah dengan memformulasikan konsep negara Islam dalam konteks Nusantara. Apalah tafsiran Negata Islam ala kekhalifahan abad pertengahan itu relavan diadaptasi ke dalam konteks muslim Nusantara?

Jika ditilik secara historis dan sosiologis, ada perbedaan mendasar antara dunia Islam Timur Tengah di masa Abad Pertengahan dengan kondisi wilayah Nusantara. Salah satu perbedaan mendasar itu adalah karakteristik masyarakatnya. Masyarakat Timur Tengah di masa kekhalifahan Abad Tengah sangat fanatik pada kesukuan, kabilah, klan, dan identitas yang sifatnya eksklusif.

Fanatisme kesukuan inilah yang dikendalikan melalui kekuasaan terpusat dan sentralistik dalam bentuk khilafah yang teokratis dan monarkis. Islam lantas dijadikan alat untuk memvalidasi model pemerintahan teokratis monarkis yang sebenernya hasil ijtihad manusia tersebut.

Beda halnya dalam konteks Nusantara yang masyarakatnya nisbi tidak fanatik dalam hal identitas kesukuan. Dalam konteks Nusantara, masyarakat cenderung lebih inklusif dalam memahami identitas keagamaan dan kesukuannya. Bahkan, penyebaran Islam awal di Nusantara pun cenderung steril dari konflik dengan pemeluk Budha dan Hindu yang sudah eksis pilihan tahun sebelumnya.

Bagi masyarakat Nusantara, Islam hadir dalam bentuk nilai dan prinsip, bukan sekedar simbol dan ekspresi visual. Itulah mengapa muslimah Nusantara awalnya tidak terlalu fanatik pada jilbab, dan muslimnya lebih memilih sarung ketimbang gamis ala penduduk Arab. Kompromi dan negosiasi kultural tidak hanya terjadi di wilayah gaya hidup, namun juga dalam hal politik dan pemerintahan.

Itulah mengapa muslim Nusantara tidak terlalu getol memperjuangkan Negara Islam lantaran memahami bahwa gagasan itu bukan orisinil dari Islam melainkan hasil modifikasi para ulama fiqih siyasah dan khalifah di masa lalu. Muslim Nusantara berhasil mendefinisikan Negata Islam dalam bingkai Nusantara yang majemuk.

Bentuk NKRI yang berbasis pada Pancasila dan UUD 1945 pada dasarnya adalah bentuk Penafsiran atas gagasan Negara Islam oleh muslim Nusantara. NKRI adalah perwujudan dari konsep darul ahdi wa as syahadah, yakni negara perjanjian dan persaksian sebagaimana dideklarasikan oleh Muhammadiyah.

Darul ahdi wa as syahadah bukan negara Islam formal yang menjadikan syariah sebagai hukum positif negara. Namun, esensi ajaran Islam itu tercermin dalam konstitusi yang disusun melalui konsensus bersama.

Facebook Comments