Propaganda Formalisasi Agama; Kebangkitan Islam atau Gejala Konservatisme?

Propaganda Formalisasi Agama; Kebangkitan Islam atau Gejala Konservatisme?

- in Narasi
28
0
Propaganda Formalisasi Agama; Kebangkitan Islam atau Gejala Konservatisme?

Wacana formalisasi agama lebih spesifik dalam konteks Islam Indonesia sebenernya bukan fenomena baru. Di awal masa kemerdekaan, wacana menjadikan Indonesia sebagai negara Islam sempat mencuat. Namun, gagasan itu mendapat kritikan keras dari kelompok nasionalis utamanya dari kalangan tokoh non muslim dan tokoh Indonesia Timur.

Pasca Reformasi gelombang propaganda Negara Islam kembali mencuat. Demokratisasi pasca Reformasi membuka celah bangkitnya agenda formalisasi agama. Agenda ini dapat dipetakan ke dalam setidaknya tiga model gerakan. Pertama, agenda formalisasi agama melalui gerakan politik, yakni dengan mendirikan partai politik berideologi Islam.

Gerakan ini ditandai dengan kemcunulan sejumlah parpol Islam di awal Reformasi antara lain Partai Bulan Bintang (PBB) yang dianggap sebagai reinkarnasi Masyumi dan Partai Keadilan (PK). PBB kini menjadi partai yang tidak lolos ke parlemen karena kekurangan suara. Sedangkan PK bertransformasi menjadi PKS alias Partai Keadilan Sejahtera dengan ideologi yang lebih moderat dan terbuka dengan Pancasila dan UUD 1945.

Dengan kata lain, gerakan formalisasi syariah melalui jalur politik ini gagal total. Parpol Islam gagal meraih suara signifikan di kalangan pemilih muslim. Partai nasionalis moderat justru menjadi pemuncak suara salam tiap Pemilu. Menandakan bahwa umat Islam tidak lagi percaya dengan agenda formalisasi syariah sebagai komoditas politik.

Kedua, agenda formalisasi Syariah yang mengambil jalur kekerasan dengan jihad fisik seperti bom bunuh diri, penyerangan aparat pemerintah, dan sebagainya. Gerakan ini dimotori oleh kelompok ekstremis radikal seperti Jamaah Islamiyyah yang kemudian menyempal menjadi sejumlah sel kecil. Antara lain Jamaah Ansharud Tauhid, Jamaah Ansharud Daulah, Jamaah Ansharus Syariah, Mujahidin Indonesia Timur dan kelompok yang terafiliasi dengan ISIS.

Gerakan ini memakai cara kekerasan untuk mencapai tujuan mendirikan negara Islam. Dalam dua dekade terakhir, kemunculan kelompok teror menjadi ancaman serius bagi ketahanan nasional. Keberadaan kelompok radikal teror selain menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda juga menjadi salah satu baru sandungan bagi kemajuan bangsa.

Terkahir, formalisasi agama yang dilakukan dengan propaganda wacana Negara Islam melalui media digital dengan mendistorsi Pancasila dan UUD 1945. Gerakan ini merupakan agenda formalisasi agama pasca bubarnya organisasi Jamaah Islamiyyah dan organisasi sejenis seperti Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia yang memiliki agenda serupa.

Pasca bubarnya organisasi radikal, wacana Negara Islam dihidupkan kembali melalui kampanye di platfrom digital. Propaganda menyasar kelompok milenial dan gen Z dengan mengeksploitasi kekecewaan pada kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang dialami generasi muda saat ini.

Bagi kelompok puritan, propaganda formalisasi agama merupakan bagian dari kebangkitan Islam. Namun benarkah demikian? Jika ditilik secara obyektif, propaganda formalisasi agama pada dasarnya tidak lebih dari sebuah euforia konservatisme agama. Frase kebangkitan Islam hanya dijadikan alat validasi agar agenda formalisasi agama itu tampak suci.

Nuansa konservatisme keagamaan dalam agenda formalisasi agama ini tampak jelas dari sejumlah gejala. Salah satunya, formalisasi agama yang diusung kaum puritan umumnya mengarah pada eksklusivisme. Bayangan Negara Islam di kalangan muslim puritan adalah entitas negara atau pemerintahan yang sepenuhnya diatur oleh hukum Islam klasik.

Seperti kita tahu, dalam konteks fiqih klasik, penduduk di wilayah kekuasaan Islam dibedakan ke dalam tiga klasifikasi. Yakni muslim, kafir harbi dan kafir dzimmi. Muslim adalah penduduk beragama Islam yang menempati posisi tertinggi dalam strata sosial dan politik. Lalu kafir dzimmi yakni kelompok non muslim yang hidup damai dan tidak memusuhi umat Islam. Mereka diberikan hak hidup dengan kewajiban membayar jizyah.

Sedangkan kafir harbi adalah kelompok non muslim yang memusuhi umat Islam. Meraka tidak berhak hidup di wilayah Islam dan halal untuk diperangi. Model klasifikasi warganegara sesuai fiqih siyasah klasik ini tentu tidak relevan diterapkan di era sekarang dimana mayoritas warga muslim global tinggal di negara bangsa yang demokratis.

Jika model negara Islam ala era klasik dan pertengahan itu diadaptasi dalam konteks Indonesia yang majemuk, besar kemungkinan diskriminasi terhadap warga non muslim akan dinormalisasi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan formalisasi agama akan menjadi alat validasi kekerasan terhadap minoritas agama.

Di era modern, frasa kebangkitan Islam idealnya dipahami sebagai menguatnya saya tawar dunia Islam di level internasional dalam hal kualitas sumber daya manusianya. Fornalisasi agama tidak akan menyelesaikan problem akut dunia Islam hari ini, yakni ketertinggalan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Fornalisasi agama juga tidak akan menyelesaikan krisis dunia Islam di bidang politik, seperti korupsi, perebutan kekuasaan, dan konflik horisontal. Fornalisasi agama adalah solusi jangka pendek dan hasil pemikiran instan dari oknum umat Islam yang malas berpikir.

Ke depan, umat Islam justru lebih membutuhkan gerakan kolektif untuk mereformasi sistem pemerintahan, dan merevolusi karakter individu. Reformasi sistemik penting untuk memastikan birokrasi dan pemerintahan yang bersih dan kredibel. Sedangkan revolusi individu adalah kunci meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Facebook Comments