Dari Munafik ke Anti-Islam; Membongkar Labelisasi Negatif di Balik Agenda Formalisasi Syariah

Dari Munafik ke Anti-Islam; Membongkar Labelisasi Negatif di Balik Agenda Formalisasi Syariah

- in Narasi
14
0
Dari Munafik ke Anti-Islam; Membongkar Labelisasi Negatif di Balik Agenda Formalisasi Syariah

Dalam mengampanyekan formalisasi syariah, kelompok Islam puritan tidak hanya menjual mimpi utopis. Misalnya, janji bahwa penerapan syariah Islam adalah solusi atas semua problem sosial. Namun, di saat yang sama, kelompok puritan juga menempelkan beragam label pada kelompok progresif yang kritis pada wacana formalisasi syariah.

Mulai dari label yang cenderung sarkastis seperti kaum liberalis-sekuler, antek kafir, sampai label yang berkonotasi teologis seperti kaum munafik atau anti-Islam. Labelisasi itu merupakan upaya mengalihkan perdebatan subtansial tentang hakikat formalisasi syariah. Label munafik atau anti-Islam dipakai untuk mendelegitimasi kelompok progresif yang kritis pada agenda formalisasi syariah.

Lantas, benarkah kelompok yang mengkritisi agenda formalisasi syariah itu merupakan golongan munafik atau bahkan anti Islam? Jika ditelisik lebih jauh, sikap kritis kaum progresif atas agenda formalisasi syariah itu dilatari oleh sejumlah poin. Antara lain, pertama secara ideologis, agenda formalisasi syariah itu bertentangan dengan konsensus kebangsaan, yakni NKRI yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Konsensus itu dianggap final dan tidak dapat diubah.

Kedua, dari sisi teologis, agenda formalisasi syariah juga bertentangan dengan pandangan paham Asy’ariyah dan Syafi’iyah yang menjadi mazhab arusutama Islam di Indonesia. Seturut paham Asy’ariyah dan Mazhab Syafi’iyah, patuh pada otoritas pemerintahan yang sah adalah bentuk ketaatan terhadap Allah SWT. Dalam tradisi Sunni secara umum, umat Islam juga wajib tunduk pada pemimpin yang dipilih dan diakui oleh mayoritas umat.

Ketiga, secara sosiologis agenda formalisasi syariah menghadirkan ancaman serius terhadap kebinekaan banhsa. Penerapan syariah rawan menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas atau golongan non muslim. Fenomena diskriminasi itu tampak dari pemberlakuan peraturan daerah Islami atau perda syariah di sejumlah wilayah yang cenderung menomorduakan warga non muslim dan mengistimewakan golongan muslim.

Terakhir, sejarah mencatat bahwa agenda formalisasi syariah justru kerap menimbulkan gelombang teror dan kekerasan mengatasnamakan agama. Nyaris semua kelompok teror yang eksis di Indonesia memiliki visi yang sama, yakni mendirikan negara Islam berdasar syariah.

Argumen itulah yang dipakai oleh kelompok progresif dalam mengkritisi agenda formalisasi syariah. Kelompok progresif juga mempertanyakan, model syariah yang seperti apa yang akan diterapkan, lantaran di setiap periode kepemimpinan dalam sejarah Islam dari masa Rasulullah, Khilafaurrasyidun, Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah dan kekhalifahan lain, hingga era modern, terdapat aturan hukum yang berbeda-beda.

Sayangnya, kelompok puritan kadung melabeli kelompok progresif dengan label munafik atau anti Islam. Kaum puritan biasanya menggunakan Surat An Nur ayat 48-50. Padahal, tafsir ayat ini adalah tudingan munafik ke kelompok yang tidak mau dirugikan dan hanya ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari hukum yang berlaku. Ayat ini dipakai secara serampangan untuk menghakimi kelompok progresif yang kritis pada agenda formalisasi syariah.

Kaum progresif tidak pernah menolak syariah. Sebagimana muslim pada umumnya, kalangan progresif juga menjalankan syariah Islam seperti solat, zakat, puasa, berhaji, dan sebagainya. Hanya saja, kaum progresif mengkritisi agenda formalisasi syariah di ruang publik. Argumennya adalah Indonesia bukan negara Islam, dan dihuni oleh masyarakat yang majemuk. Lagipula, Indonesia telah memilki Pancasila yang merupakan titik temu antara lokalitas Nusantara dan universalitas Islam.

Mengkritisi formalisasi syariah jelas berbeda dengan menolak syariah apalagi anti Islam. Formalisasi syariah adalah agenda politik kaum puritan yang ingin mengubah ideologi dan konstitusi negara. Agenda itu berpotensi menghadirkan ancaman dan bahaya serius bagi bangsa dan negara. Maka, mengkritisi agenda formalisasi syariah adalah sebuah keniscayaan untuk menjaga eksistensi bangsa Indonesia.

Agenda formalisasi syariah di ruang publik sudah terbukti problematik, baik dari sisi teologis, ideologis, politis, dan sosiologis. Formalisasi syariah yang diperjuangkan kaum puritan juga kental dengan nuansa politik kekuasaan, bukan semata kepentingan agama. Lagipula, secara substantif nilai dan prinsip syariah Islam telah hadir dalam ruang publik kita.

Nyaris semua sisi kehidupan publik kita hari ini tidak lepas dari unsur islami. Mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, sampai gaya hidup semua tidak lepas dari pengaruh Islam. Dalam konteks Indonesia, Islam hadir sebagai sumber etika dan moral publik. Islam tidak hadir semata sebagai sebuah simbol atau aturan hukum legal formal.

Harus diakui bahwa umat Islam saat ini berada dalam krisis peradaban. Ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan denua Barat menandakan adanya krisis intelektualitas. Sedangkan konflik horisontal di banyak negara muslim menandakan adanya krisis sosial politik yang akut.

Yang dibutuhkan umat saat ini bukan formalisasi syariah melainkan transformasi di bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial budaya. Kita perlu membangun kualitas sumber daya manusia untuk mendorong kebangkitan dunia Islam. Bukan justru mempropagandakan formalisasi syariah yang ujungnya hanya menimbulkan perpecahan di kalangan umat dan sssana anak bangsa.

Facebook Comments