Seorang Abdurrahman Wahid pernah mencetuskan istilah “Islam Pribumi” jauh sebelum istilah “Islam Nusantara” ada. Dan, dalam bidang Islamic Studies, pernah ada yang mempermasalahkan istilah “pribumi” di situ, seakan-akan dapat menyingkapkan potensi diskriminasi dan perpecahan. Atau kalau tak demikian, dengan menjumput logika kaum postmodernis-ngehe, kemustahilan keaslian yang merujuk pada ide besar “identitas.”
Saya tak akan membahas seorang Abdurrahman Wahid di sini, namun ide besarnya soal kepribumian patut untuk direnungkan mengingat kini Indonesia tengah benar-benar sampai pada dunia yang sudah dinubuahkan oleh kaum postmodernis-ngehe: “dunia tanpa batas.”
Tak pula saya menjumput kisah perjuangan Subcomandante Marcos dan masyarakat Chiapas yang berhasil menobatkan kaum komunis internasional tentang keabsahan kategorisasi pribumi ataupun lokalitas dalam skema besar perjuangan kelas.
Tak pula saya menautkan kategorisasi pribumi ataupun lokalitas dalam skema besar politik pariwisata kapitalisme yang seakan sudah menjadi kelaziman di berbagai daerah di Indonesia.
Entah ditengarai sebagai bagian dari eksotisme belaka, cerminan feodalisme, ataupun TBC (takhayul, bid’ah, churafat), istilah “pribumi” senyatanya memang sebentuk unsur yang mau tak mau mendasari pembentukan sebuah kebudayaan. Bukankah di Indonesia dahulu kalangan modernis, ataupun kalangan Yamani kini, tak mungkin terbentuk identitasnya tanpa men-TBC-kan kearifan-kearifan setempat di mana mereka dakwah sekaligus berak?
Di samping itu, pada dasarnya istilah “pribumi” tak sebagaimana yang dibayangkan para pengikut kaum postmodernis-ngehe, seolah eksklusif atau sama sekali tak ada kesesuaian rasa (musical accord) dengan apa yang dianggap sebagai pendatang ataupun yang impor (Intertonikalitas, Interkulturalisme, dan Arah Baru Etnomusikologi, Heru Harjo Hutomo, https://etnis.id).
Taruhlah laku eling yang dilakukan oleh kebanyakan kaum penghayat kepercayaan di Jawa, sebagai sebentuk spiritualitas “pribumi,” yang sudah pasti sama sekali tak menyalahi prinsip-prinsip agama Islam, khususnya yang dibawakan oleh para sufi, yang notabene adalah agama impor. Pernahkah terdapat seorang muslim, khususnya seorang sufi, yang kemudian menilai karakteristik kepribumian semacam itu sebagai sumber pengkotakkan, pertentangan, dan perpecahan? Ketika apa yang dianggap sebagai “pribumi” itu hanyalah bungkus semata dari dzat dan dinamikanya yang berlaku di mana saja dan kapan saja, maka menjadi problemkah istilah “pribumi” itu?
Maka dari itu, istilah “pribumi” dengan segala hal yang lazim ditautkan dengannya (Islam, ulama, kyai, kepercayaan, sains), adalah bukan sebentuk ancaman dan hal yang sah dilekatkan pada tataran apapun.