Perubahan strategi terorisme di Indonesia dan secara global telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Mereka tak lagi berbicara sebatas bom dan serangan aksi kekerasan. Kini, ancaman lebih halus tapi jauh lebih meresap atau dikenal dengan soft propaganda. Propaganda ini menyusup lewat permainan daring (online games).
Kenapa harus permainan daring? Platform ini menyediakan fasilitas yang sempurna bagi proses radikalisasi baru yang menyasar anak. Ruang obrolan, komunitas virtual, dan estetika visual game menjadi ruang yang nyaman bagi mereka melancarkan propaganda. Bagi generasi muda yang tumbuh dalam dunia digital, ini bukan sekadar hiburan, tetapi medan ideologi yang tak terlihat.
Selama puluhan tahun, kelompok teroris memakai metode “keras” sebagai alat mobilisasi. Bom bunuh diri, pemboman massal, dan aksi fisik yang mengejutkan masyarakat dan aparat telah memancing aparat melakukan tekanan keamanan yang semakin meningkat. Kontrol publik juga semakin meningkat terhadap narasi-narasi kebencian dan kekerasan kelompok teroris.
Melalui game, kelompok ini mengadopsi elemen visual, mode komunikasi privat, dan simbol emosional yang familiar bagi anak muda. Sebagai contoh, konten propaganda menggunakan footage yang mirip game first-person shooter untuk memberikan kesan aksi heroik. Ruang chat dalam game dipakai untuk membangun kepercayaan, hubungan pertemanan, lalu bertahap membuka ruang untuk agenda ideologi.
Apakah Sudah Ada Bukti?
Singapura, misalnya, pada tahun 2023 remaja berusia 16 tahun menggunakan Roblox untuk membuat “scene game” yang memuat konten pro-ISIS. Kasus ini bukan sekadar berupa desain game, melainkan ruangan virtual yang menjadi titik awal perlawanan ideologis.
Di Australia, pihak kepolisian memperingati bahwa kelompok ekstremis memanfaatkan platform game, voice chat, dan ruang komunitas gaming selama periode liburan untuk mendekati dan “menggroom” individu rentan. Mereka memakai pendekatan ringan: “kamu tidak sendirian”, “agama memberikan tujuan hidup”, dan “hidup yang lebih bermakna kalau ikut komunitas” —tanpa seruan kekerasan langsung.
Laporan FBI / NCTC AS dan lembaga intelijen Eropa juga menyebutkan bahwa konten propaganda ekstremis kini hadir dalam bentuk video game-style, simulasi role-playing, atau cerita visual yang “terinspirasi game” sebagai bagian dari materi rekrutmen. Mereka menyasar pengguna yang tertarik pada estetika fantasi, aksi, dan komunitas daring.
Siapa yang Rentan Ditarget?
Remaja dan anak adalah target utama. Mereka dengan kisaran 10-18 tahun berada pada titik yang rentan dibujuk melalui permainan dan persahabatan virtual. Remaja yang masih mencari identitas dan ingin diterima dalam komunitas memiliki kebutuhan emosional dan sosial yang kuat. Mereka menghabiskan banyak waktu di platform game, yang menyediakan interaksi sosial, hiburan, dan perasaan menjadi bagian dari sesuatu komunitas, kelompok, bahkan dengan identitas religius.
Orang yang kurang memiliki literasi digital dan keagamaan juga rentan. Mereka mungkin melihat konten agama sebagai “jawaban” terhadap keresahan hidup, ketidakadilan sosial, atau kekosongan spiritual. Jika pesan agama yang mereka dengar hanya sepotong, dengan konteks terbatas, mereka bisa merasa bahwa solusi ekstrem adalah jalan keluar.
Soft propaganda melalui game daring sering kali lebih sulit terendus karena tidak menampilkan ajakan kekerasan secara langsung. Dampaknya bisa lebih panjang adalah membentuk pola pikir intoleran, diskriminatif, mengurangi loyalitas terhadap sistem demokrasi, dan memicu aksi ekstrem jika diprovokasi di titik tertentu.
Ketika satu generasi tetap terpapar narasi yang dibungkus moralitas agama ringan, tanpa kontekstualisasi teologi yang sehat dan analisis pluralitas, potensi untuk “escalation” — yaitu dari soft ke hard — menjadi nyata.
Apa yang Dapat Dilakukan?
Soft propaganda melalui game bukan ancaman masa depan, tetapi ia telah hadir sebagai ancaman saat ini. Permainan online yang dahulu dianggap sekadar hiburan kini bisa menjadi pintu masuk ideologi ekstrem yang terselubung. Jika kita tidak waspada, generasi muda kita bisa terjebak dalam narasi yang tampak moral dan islami, tetapi di dasar tersembunyinya agenda yang merusak.
Pendidikan literasi digital dan agama yang kritis menjadi penting dikampanyekan. Sekolah, pesantren, organisasi pemuda perlu mengajarkan cara membaca sumber, konteks, motif di balik pesan agar remaja dan anak tidak hanya menghafal atau mendengar ceramah pendek.
Peran orang tua, keluarga, peer group untuk menyediakan ruang diskusi tentu sangat krusial. Keterasingan anak justru menjadi faktor tumbuhnya kerentanan. Mereka yang hilang kepercayaan dan komunikasi terbuka cepat mudah direkrut dengan iming-iming pertemanan dan identitas baru.
Orang tua, keluarga dan pertemanan menjadi jawaban untuk menjaga anak agar memiliki tempat untuk bertanya dan menyampaikan keresahan. Jangan pernah mengasingkan mereka dalam dunia maya penuh fantasi yang menyesatkan. Temani anak-anak untuk tumbuh dewasa dengan kehangatan keluarga dan pertemenan sosial yang produktif.