Terorisme itu proyek Barat untuk melemahkan Islam. Isu radikalisme online itu sengaja digemborkan untuk proyek agar mendapatkan anggaran dari pemerintah. Terorisme sudah nihil, maka seharusnya lembaga seperti Densus 88 dan BNPT dibubarkan saja.
Demikian narasi yang berkembang di tengah publik beberapa tahun terakhir. Pencetusnya sebenarnya itu-itu saja. Kelompok yang terafiliasi dengan gerakan radikal ekstrem. Atau kelompok yang secara diam-diam merasa dirugikan atas kebijakan pemerintah yang gencar memberangus terorisme.
Kita tidak perlu risau atau marah dengan narasi tersebut. Alih-alih membuang energi untuk marah, alangkah lebih baik jika kita luruskan pola pikir yang masih bengkok tersebut.
Pertama, narasi bahwa terorisme adalah proyek Barat untuk melemahkan atau memerangi dunia Islam. Narasi itu dengan mudah dibantahkan dengan fakta bahwa banyak negara Barat, termasuk Amerika Serikat menjalin hubungan ekonomi dan politik yang sangat erat dengan negara Islam.
Arab Saudi selama ini dikenal sebagai sekutu Amerika Serikat dan Uni Eropa. Musuh bebuyutan Amerika dan sebagian negara Eropa saat ini sebenarnya bukan umat Islam, namun China dengan keberaniannya menantang perang dagang dengan Amerika dan Eropa.
Kelompok seperti Al Qaeda memang awalnya dibentuk oleh pemerintahan AS. Namun, konteks pembentukannya adalah untuk membendung Uni Sovyet dengan ideologi komunisme-nya yang saat itu menjajah Afganistan.
Milisi Al Qaeda tidak dibentuk untuk memperjuangkan Negara Islam. Ironisnya, ketika Afganistan merdeka dari Uni Sovyet, Al Qaeda bertransformasi menjadi gerakan politik yang memperjuangkan negara Islam Afghanistan.
Kedua, narasi radikalisme daring sengaja digemborkan untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah juga dengan mudah dapat dibantah. Fakta bahwa ada ribuan situs daring yang menjadi media penyebaran konten radikalisme keagamaan membuktikan bahwa isu radikalisme daring itu bukan isapan jempol belaka.
Lagipula, jika isunya adalah anggaran pemerintah, lembaga seperti BNPT harus diakui mendapat porsi anggaran yang sangat kecil dan terus dipangkas setiap tahunnya. Jika badan lain mengelola anggaran triliunan rupiah, BNPT hanya mengelola dari 275 Miliar Rupiah. Jumlah yang sangat kecil untuk dilabeli sebagai proyek pemerintah.
Ketiga, narasi bahwa terorisme nihil sehingga Densus 88 dan BNPT sudah waktunya dibubarkan adalah logika sesat yang tidak masuk akal. Lembaga seperti Densus 88 dan BNPT bukan lembaga adhoc yang memiliki batas waktu sehingga akan dibubarkan ketika tugasnya selesai.
Selain itu, sebuah lembaga tidak perlu buru-buru dibubarkan hanya karena persoalan yang ditangani menunjukkan perkembangan ke arah positif. Di negara-negara maju, tingkat kriminalitas nyaris nol.
Sebut saja di Belanda yang penjaranya nyaris kosong. Namun, tidak ada rencana pemerintah Belanda untuk mengurangi jumlah polisi atau sipir penjara, apalagi secara ekstrem menghapus kepolisian dan menutup penjara.
Jika itu terjadi, maka seluruh dunia akan tertawa. Ide membubarkan Densus 88 atau BNPT itu sama saja dengan opini “kenapa kita harus membeli senjata mahal, dan merekrut tentara setiap tahun, padahal negara tidak dalam kondisi perang?”. Sebuah pertanyaan konyol yang lahir karena keterbatasan pengetahuan.
Pembentukan Densus 88 dan BNPT menang dilatari oleh fenomena maraknya terorisme di tanah air beberapa tahun lalu. Namun, bukan berarti ketika aksi terorisme melandai, badan atau lembaga yang menangani urusan terorisme layak dibubarkan. Logika penanganan masalah dalam birokrasi kenegaraan tidak seperti itu.
Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK tidak lantas dibubarkan ketika kasus korupsi melandai. Landainya kasus korupsi wajib dicermati, apakah benar karena praktik nista itu telah musnah, atau justru berevolusi sehingga sulit dilacak dan diidentifikasi oleh aparat penegak hukum.
Yang dialami oleh gerakan radikal teror saat ini adalah evolusi. Mereka bangkrut di permukaan, namun berusah mengkonsolidasikan gerakan di bawah tanah, terutama melalui berbagai platfrom digital, mulai dari media sosial hingga game online. Sel teroris terus bermutasi, bermetamorfosis, dan bertransformasi ke dalam beragam bentuk.
Ada yang aktif di media sosial, menyaru sebagai content creator keagamaan yang membahas isu sosial politik khas anak muda. Ada yang menyusup ke ormas, lembaga pendidikan, bahkan instansi pemerintah.
Ada yang menggalang dana dengan kedok solidaritas untuk sesama muslim. Ada pula yang menjalin koneksi dengan jaringan internasional untuk mendapatkan logistik dan dukungan.
Isu radikalisme bukan akal-akalan pemerintah, apalagi proyek. Pemerintah justru akan dengan senang hati memangkas anggaran untuk pemberantasan terorisme jika memang fenomena itu sudah steril dari bumi Indonesia. Sayangnya, keadaan di lapangan tidak seperti itu. Terorisme berevolusi sedemikian rupa. Maka, metode dan pendekatan untuk mengatasinya pun harus berevolusi.