Ekstremisme Non Agama; Balas Dendam dalam Bingkai Narasi Kepahlawanan

Ekstremisme Non Agama; Balas Dendam dalam Bingkai Narasi Kepahlawanan

- in Narasi
3
0
Ekstremisme Non Agama; Balas Dendam dalam Bingkai Narasi Kepahlawanan

Ledakan bom di SMAN 72 Jakarta adalah peristiwa teror. Aksi itu jelas bukan sekedar kriminalitas biasa layaknya tawuran atau sejenisnya. Ada unsur ideologis yang sulit ditutupi dari peristiwa itu. Terlebih, terdapat banyak petunjuk di TKP yang mengarah pada ideologi ultra konservatisme sayap kanan, terutama Neo Nazi dan supremasi ras kulit putih.

Tidak diragukan bahwa aksi ini merupakan ekstremisme non agama. Yakni kekerasan yang dilatari motif Ideologi non keagamanaan. Meski sasarannya adalah kelompok agama tertentu, dalam hal ini muslim, namun motif ideologi yang melatarinya bukan agama. Ideologi ultra konservatif kanan yang mewujud pada gerakan Neo Nazi dan supremasi kulit putih lebih didasari oleh sentimen sosio politik.

Ultra konservatisme menjadi ideologi yang subur di kalangan anak muda Barat hari ini. Jill Povic dalam kolomnya untuk The Guardian menyebut bahwa ada kecenderungan peningkatan konservatisme di kalangan masyarakat Amerika Serikat, khsusunya di kelompok demografi muda dan remaja.

Kelompok yang tadinya liberal mulai bergeser ke konservatif. Sedangkan yang awalnya sudah konservatif menjadi ultra konservatif. Povic melihat ini sebagian gejala kekecewaan terhadap liberalisme yang gagal mewujudkan kesejahteraan bagi warga kulit putih Amerika.

Kebijakan liberal yang ramah terhadap kelompok imigran dianggap sebagai faktor utama sulitnya kelompok kulit putih mencari pekerjaan. Hal inilah yang melatari munculnya sentimen kecurigaan dan kebencian terhadap kelompok imigran.

Faktor lainnya adalah sikap pragmatisme pars politisi yang cendrung bersikap permisif pada kebangkitan ultra konservatisme. Bahkan, dalam banyak hal sejumlah politisi berusaha mengkapitalisasi kebangkitan ultra konservatisme tersebut.

Contoh paling nyata adalah Donald Trump yang berkampanye dengan memakai retorika anti imigran. Hal yang sama dilakukan sejumlah politisi populis di sejumlah negara. Misalnya Jair Bolsonaro di Brazil, Georgia Meloni di Italia, hingga Narendra Modi di India.

Konservatisme memang cenderung tidak terlalu berbahaya jika hanya berhenti pada retorika politik. Cilakanya, retorika politik itu lantas diterjemahkan ke dalam aksi ekstrmisme terhadap kelompok rentan.

Dalam konteks Barat, definisi kelompok rentan meliputi umat Islam, kelompok ras non Arya, dan komunitas LGBT serta queer. Mereka paling banyak menerima perlakukan diskriminatif mulai dari rasisme sampai kekerasan fisik.

Lebih spesifik dalam konteks serangan terhadap muslim oleh kelompok ultra konservatif, motif paling umum adalah retaliasi alias balas dendam. Menyerang muslim dianggap sebagai bentuk balas dendam atas sejumlah kasus terorisme yang dilakukan oknum muslim di masa lalu.

Retaliasi ini kemudian dibingkai ke dalam narasi kepahlawanan. Dalam artian, siapa yang menyerang umat Islam akan dicap sebagai pahlawan di kalangan ultra konservatif. Retaliasi pada akhirnya hanya menyisakan lingkaran kekerasan yang sulit diputus. Ketika semua golongan baik agama dan non agama menunjukkan kecenderungan ke arah ultra konservatif, maka dunia akan terus diliputi tragedi kekerasan.

Teroris Islam menarget masyarakat Barat lantaran dicap kafir. Sebaliknya, kelompok ultra konservatif Barat menyasar umat Islam karena dianggap sebagai kelompok teroris yang patut dimusnahkan.

Lingkaran kekerasan ini menempatkan publik pada situasi yang dilematis. Tersebab, masing-masing kelompok kerap secara acak menarget sasarannya. Korban terorisme oknum muslim kerap kali adalah warga sipil biasa, bahkan sebagian di antaranya justru beragama Islam. Demikian pula, korban kekerasan kaum ultra konservatif Barat tidak jarang adalah muslim moderat yang tidak terafiliasi dengan gerakan radikal ekstrim mana pun.

Peristiwa teror SMAN 72 Jakarta membuktikan bahwa ekstrmisme non agama tidak kalah berbahaya dengan ekstremisme berlatar agama. Ekstrmisme non agama memiliki karakteristik yang sama; mengunggulkan kelompok sendiri dan menebar kebencian kepada kelompok yang dianggap sebagai musuh. Ekstremisme non agama juga menghalalkan cara destruktif untuk mewujudkan agendanya. Keduanya sama-sama bertentangan dengan nilai kemanusiaan.

Ekstrmisme, atas nama apa pun harus ditolak dan dilawan. Dalam konteks Indonesia, ideologi ultra konservatif seperti Neo Nazi dan supremasi ras Arya tidak relevan dengan nilai Pancasila. Konsep nasionalisme sempit yang diimani oleh kaum Neo Nazi bertentangan dengan prinsip Sila Ketiga yakni Persatuan Indonesia.

Sila Persatuan Indonesia menjadi landasan nasionalisme yang berbasis pada integrasi bangsa. Bukan berdasar pada supremasi ras atau etnis tertentu. Prinsip nasionalisme Pancasila juga sejalan dengan prinsip internasionalisme yang menjunjung tinggi relasi dan kerjasama internasional dengan mengakui kesetaraan antarbangsa.

Sedangkan prinsip supremasi ras bertentangan dengan Sila Kedua, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua Pancasila mengandung makna bahwa setiap individu tercipta dengan keunikan dan kekhasannya.

Namun, perbedaan identitas itu tidak menjadi alasan untuk membedakan kedudukan dan hak tiap individu. Sila kedua adalah deklarasi bahwa setiap individu memiliki hak dan kedudukan yang setara.

Maka, Pancasila relevan sebagai tameng untuk membendung ideologi ultra konservatisme yang menargetkan kaum muda dan remaja. Pancasila harus hadir sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara di kalangan remaja dan anak muda. Penanaman nilai Pancasila terutama soal Persatuan dan Kemanusiaan menandai urgen di tengah gelombang ultra konservatisme yang mengkhawatirkan.

Facebook Comments