Xenophobia, Chauvinisme, dan Racun Nasionalisme

Xenophobia, Chauvinisme, dan Racun Nasionalisme

- in Narasi
2
0
Xenophobia, Chauvinisme, dan Racun Nasionalisme

Nasionalisme, pada esensinya, adalah sebuah kekuatan pembebas. Paham ini pertama kali muncul di Eropa pada abad ke-18, berkelindan dengan terbentuknya negara-negara bangsa (nation-states). Sebuah negara bangsa dibentuk atas dasar kemauan untuk hidup bersama, didorong oleh faktor-faktor seperti persamaan bahasa, adat-istiadat, tradisi, dan sering kali, nasib sepenanggungan.

Di Indonesia, nasionalisme lahir dari rahim kolonialisme. Kesadaran kolektif terhadap situasi terjajah melahirkan keinginan untuk bebas dan merdeka. Inilah api yang melahirkan Boedi Oetomo, sebuah organisasi modern pertama dengan cita-cita membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme.

Penggunaan istilah “Indonesia” kemudian menjadi identitas nasional dan simbol perlawanan. Sampai di titik ini, nasionalisme memiliki citra yang sangat positif; ia melahirkan konsepsi tentang keadilan, kesetaraan, dan semangat anti-imperialisme.

Namun, bagaimana jika seseorang memiliki rasa nasionalisme yang berlebihan? Apa dampaknya jika jiwa nasionalis itu melampaui batas wajar?

Sering kali memang sulit untuk meraba di mana tepatnya garis batas antara nasionalisme yang sehat dengan apa yang bisa disebut sebagai excessive nationalism atau nasionalisme berlebihan. Batasnya menjadi semakin kabur ketika kita berhadapan dengan xenophobia dan chauvinisme. Namun, dua istilah terakhir inilah yang sering kali menjadi racun berbahaya bagi sebuah negara.

Xenophobia sendiri adalah kecenderungan yang didasari oleh rasa takut atau benci secara irasional terhadap apa pun yang dianggap “asing”—baik itu kebudayaan, tradisi, maupun bangsa lain. Sementara itu, chauvinisme adalah paham yang satu langkah lebih jauh, ia tidak hanya mengagungkan bangsa atau negaranya sendiri secara ekstrem, tetapi juga secara aktif memandang rendah bangsa atau negara lainnya.

Keduanya berangkat dari motif berbeda. Xenophobia dilatarbelakangi ketakutan atau kebencian terhadap “yang lain”, sedangkan chauvinisme berangkat dari glorifikasi berlebihan terhadap diri sendiri.

Contoh xenophobia paling dekat yang bisa kita ingat adalah ketika sentimen anti-Cina merebak di awal pandemi Covid-19. Tagar #ChineseDontComeToJapan sempat viral di Jepang. Di Amerika Serikat, beberapa WNI juga pernah menjadi korban serangan fisik yang disinyalir bermotif kebencian etnis.

Chauvinisme, di sisi lain, tak kalah berbahayanya dan berpotensi besar melahirkan diskriminasi sistematis. Paham inilah yang menjadi bahan bakar utama tragedi kemanusiaan terbesar. Di Jerman, Adolf Hitler dan Partai Nazi mengusung doktrin keunggulan ras Arya sembari merendahkan ras Yahudi, yang berujung pada genosida. Di Italia, rezim fasis Bennito Mussolini menganggap negara lain sebagai peniru yang tidak kreatif. Demikian pula di Jepang pada era Kaisar Hirohito, paham chauvinisme membenarkan penjajahan atas bangsa lain dengan propaganda bahwa mereka adalah bangsa yang paling cemerlang.

Kasus bom di SMA N 72 Jakarta Utara Jumat lalu (7/11) juga lekat dengan gejala chauvinisme. Asumsi ini muncul setelah ditemukan barang bukti pelaku yang mengandur simbol-simbol paham supremasi kulit putih. Ini adalah contoh bibit chauvinisme di level mikro.

Gejala nasionalisme ekstrem ini tidak hanya tersimpan di buku sejarah. Di era modern, upaya sebuah negara untuk memperkuat identitas nasional dapat tergelincir menjadi tindakan represif yang mengarah pada xenophobia.

Lihat saja contoh kontroversial di Tajikistan. Di bawah kepemimpinan Emomali Rahmon (berkuasa sejak 1994), pemerintah mengambil langkah-langkah drastis dengan alasan memperkuat kebudayaan nasional. UU Parental Responsibility misalnya, diterapkan untuk menghukum orang tua yang mengirim anak mereka belajar agama di luar negeri, dan anak di bawah 18 tahun dilarang memasuki tempat ibadah.

Dalam satu tahun, dilaporkan ribuan masjid ditutup dan dialihfungsikan menjadi kedai teh atau pusat medis. Kebijakan ini, yang juga melarang pakaian asing (termasuk hijab) dan tradisi lokal Idul Adha, menunjukkan bagaimana dalih nasionalisme digunakan untuk mengontrol dan mengeliminasi pengaruh yang dianggap “asing”, baik itu dari Barat maupun dari dunia Islam.

Pada akhirnya, pertanyaan tentang nasionalisme yang melampaui batas adalah pertanyaan tentang kapan rasa cinta berubah menjadi racun. Kita semua tahu bahwa segala hal yang berlebihan itu tidak baik.

Nasionalisme yang melahirkan Boedi Oetomo dan kemerdekaan Indonesia adalah spirit positif yang harus dirawat. Namun, sejarah kelam Hitler, Mussolini, hingga kebijakan represif modern atas nama identitas nasional, menunjukkan potensi kerusakan yang nyata ketika paham ini disalahgunakan.

Garis batasnya tipis. Nasionalisme menjadi toksik dan berbahaya ketika ia tidak lagi sekadar mencintai bangsa sendiri, tetapi telah berubah menjadi membenci bangsa lain (xenophobia) atau merasa lebih unggul dari bangsa lain (chauvinisme). Inilah bahaya yang harus selalu kita waspadai agar nasionalisme tetap menjadi kekuatan pembebas, bukan alat penindas baru.

Facebook Comments