Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

- in Narasi
2
0

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat Islam mengucapkan selamat Natal pada umat Kristen. Tahun ini, debat itu kian riuh oleh rencana Kemenag mengadakan perayaan Natal Bersama. Natal bersama dianggap sebagai bentuk sinkretisme yang membaurkan ajaran agama-agama. Natal bersama dianggap sebagai upaya mendangkalkan akidah umat Islam. Benarkah demikian?

Satu hal yang wajib kita pahami terlebih dahulu adalah bahwa Natal bersama salah rangkaian perayaan seremoni Natal yang diadakan oleh Kemenag dengan melibatkan kelompok lintas agama dan aliran di internal Kemenag. Rangkaian kegiatan dimulai dengan acara Jalan Santai Lintas Agama di Jakarta.

Acara tersebut bukan acara keagamaan, hanya kegiatan olahraga bersama yang diikuti oleh pegawai kantor kementerian agama pusat, perwakilan tokoh agama Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, dan Konghucu serta perwakilan ormas keagamaan dan masyarakat umum. Puncaknya nanti, digelar acara seremoni Natal yang juga mengundang seluruh elemen masyarakat.

Jadi, Natal Bersama ini lebih tepat disebut sebagai ritus kebangsaan ketimbang ritual keagamaan. Mirip seperti tradisi Lebaran dimana semua umat beragama ikut merayakan. Di momen Lebaran, umat Kristen boleh ikut mudik, penganut Konghucu boleh ikut berburu baju baru di mal, umat Hindu atau Budha boleh bersilaturahmi sekadar mencicipi hidangan khas hari raya.

Lebaran, sebagaimana Natal adalah ritus kebangsaan. Ritus keagamaan Lebaran hanyalah momen solat ied saja yang hanya boleh diikuti oleh umat Islam. Demikian pula pada momen Natal, dimana ritual keagamaan, yakni Misa atau kebaktian hanya bisa diikuti oleh umat Kristen saja.

Hal lain yang juga wajib dipahami, terutama oleh umat Islam adalah terkait bagaimana para ulama membedakan antara urusan akidah dan muamalah. Hal ini penting untuk mengurai problem klasik terkait ucapan selamat Natal. Para ulama moderat umumnya bersepakat bahwa ucapan natal adalah bentuk komunikasi verbal antar agama yang tidak ada kaitannya dengan aspek akidah.

Akidah, dipahami sebagai ajaran yang mengatur tentang relasi vertikal transendental antara manusia dengan Allah. Akidah bersumber pada Al Quran dan hadist yang sifatnya absolut alias tetap. Aspek akidah merupakan hal yang sakral alias suci sehingga tidak dapat diubah. Akidah Islam meliputi urusan ibadah mahdhah dan tauhid.

Sedangkan muamalah adalah ajaran yang mengatur soal hubungan sosial horisontal, antara manusia dengan manusia. Meski bersumber dari Al Qur’an dan Hadist, namun muamalah memiliki aturan yang lebih dinamis, cair, dan fleksibel. Hukum muamalah selalu terbuka terhadap perbedaan pandangan atau ijtihad.

Ucapan selamat hari raya terhadap umat agama lain adalah urusan muamalah yang dinamis dan kontekstual. Menurut Quraish Shihab, mengucapkan selamat Natal oleh muslim terhadap umat Kristen adalah ekspresi teologis dan sosiologis.

Secara teologis, ucapan Natal sama halnya dengan ekspresi ucapan selamat Rasulullah atas kelahiran Nabi Musa, yang menjadi Bapak Para Nabi. Ucapan Natal, secara teologis kiranya dapat dipahami sebagai ekspresi kegembiraan umat atas lahirnya Isa Al Masih.

Sedangkan secara sosiologis, ucapan selamat Natal dapat dipahami sebagai bentuk komunikasi lintas agama. Ucapan selamat Natal bukan pengajuan atas keimanan Nasrani oleh umat Islam, melainkan pengakuan atas eksistensi komunitas Kristen sebagai bagian dari Indonesia yang majemuk.

Dalam sudut pandang ilmu antropologi agamap, ucapan Natal kiranya lebih dikategorikan sebagai hal yang sifatnya profan. Seperti dijelaskan oleh antropolog Mercia Eliade, agama terbagi atas dua hal, yakni aspek yang sakral (sacred) dan aspek profan (profane). Aspek sakral dalam agama itu meliputi keimanan, peribadatan, situs yang disucikan, dan segala hal yang terkait dengan dimensi keilahian. Jika dibaca dari perspektif antropologi agama, ucapan selamat Natal adalah aspek profan alias tidak suci.

Aspek profan dalam beragama akan bersifat dinamis dan fleksibel. Di masa asal perkembangan Islam, komunitas muslim berhadapan dengan komunitas Yahudi dan Kristen yang sudah eksis sebelumnya. Maka, Alquran mengenal istilah Ahlul Kitab untuk menyebut dua komunitas tersebut. Itu artinya, Islam tidak menempatkan komunitas Yahudi dan Nasrani sebagai musuh, melainkan saudara berbeda iman.

Di era sekarang, apalagi dalam konteks Indonesia yang majemuk, konsep Ahlul Kitab kiranya relavan ditafsirkan ulang. Salah satunya dengan mengucapkan selamat Natal. Perayaan Natal bersama yang digagas oleh Kemenag adalah manifestasi dari kontekstualisasi Ahlul Kitab di tengah kemajemukan Indonesia.

Natal Bersama adalah seremoni agama dalam aspek profan yang tidak mengganggu keimanan agama manapun. Natal Bersama tidak lebih dari sebuah festival kebangsaan yang menjadi ruang bersama bertemunya komunitas lintas iman dan golongan.

Ruang perjumpaan lintas agama itu harus diperbanyak untuk meleburkan sekat perbedaan agama dan golongan. Sudah terlalu lama umat beragama hidup dalam nalar dikotomistik; aku-kamu, kami-kalian, kita-mereka, muslim-nonmuslim, beriman-kafir, dan sebagainya.

Nalar dikotomistik membentuk pola pikir yang hitam putih dalam menilai segala sesuatu. Alhasil, perspektif kita terhadap kelompok lain selalu diwarnai oleh kecurigaan, bahkan kebencian. Cara pandang dan perilaku beragama dikotomistik itu harus diakhiri. Kita perlu mengembangkan cara pandang dan perilaku beragama yang lebih inklusif dan pluralistik.

Facebook Comments