Beberapa bulan lalu, ISIS meluncurkan beberapa video propaganda yang melibatkan anak-anak. Salah satu video tersebut menunjukkan anak 15 tahun yang melakukan bom bunuh diri. Awal Februari, sebuah video kembali muncul memperlihatkan anak laki-laki memenggal kepala pria yang diidentifikasi sebagai salah seorang anggota group anti ISIS di Iraq dan Syiria.
Setahun sebelumnya, sebuah video menunjukkan anak laki-laki yang masih belia mengeksekusi dua mata-mata dengan menembak mereka tepat di kepala. Pada Mei 2015, anak berumur 7 tahun muncul di sosial media tersenyum sambil memegang kepala tentara Syiria yang terpenggal.
Menurut peniliti, tujuan melibatkan anak-anak dalam militer atau group propaganda tidak hanya untuk menunjukkan bahwa apa yang ISIS lakukan melibatkan keluarga, tetapi juga untuk memperlihatkan bahwa meskipun ribuan pejuang laki-laki mereka dibunuh, anak-anak akan tumbuh dan menggantikan posisi mereka.
Disebutkan dalam berita yang dimuat di portal berita abcnews.go.com seorang peneliti dari Georgia State University menemukan bahwa ISIS sudah melibatkan paling kurang 89 anak-anak dalam setahun belakangan. Analisis data tersebut diambil dari pesan yang ISIS sampaikan melalui media sosial.
Apa yang dilakukan oleh ISIS menjadi alarm untuk kita semua bahwa anak-anak bisa saja menjadi korban pun juga pelaku terorisme. Lingkungan keluarga tentu mengambil peran vital dalam mencegah benih-benih terorisme tumbuh dan berkembang di dalam pikiran anak-anak sejak usia dini.
Peran Orang Tua
Lalu bagaimana orang tua harus bertindak jika anak-anak bertanya tentang terorisme? Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) pada bulan Januari lalu menerbitkan panduan untuk orang tua dan guru bicara dengan anak tentang terorisme. Panduan tersebut diterbitkan pasca teror bom yang terjadi di Jakarta.
Melalui panduan tersebut, orangtua diharapkan dapat melakukan serangkaian hal berikut ini kepada anak-anak:
Cari tahu apa yang mereka pahami. Bahas secara singkat apa yang terjadi, meliputi fakta-fakta yang sudah terkonfirmasi, ajak anak untuk menghindari isu dan spekulasi.
Hindari paparan terhadap televisi dan media sosial yang sering menampilkan gambar dan adegan mengerikan bagi kebanyakan anak, terutama anak di bawah usia 12 tahun.
Identifikasi rasa takut anak yang mungkin berlebihan. Pahami bahwa tiap anak memiliki karakter unik. Jelaskan bahwa kejahatan terorisme sangat jarang, namun kewaspadaan bersama tetap perlu.
Bantu anak mengungkapkan perasaannya terhadap tragedi yang terjadi. Bila ada rasa marah, arahkan pada sasaran yang tepat, yaitu pelaku kejahatan. Hindari prasangka pada identitas golongan tertentu yang didasarkan pada prasangka.
Jalani kegiatan keluarga bersama secara normal untuk memberikan rasa aman dan nyaman, serta tidak tunduk pada tujuan teroris mengganggu kehidupan kita. Kebersamaan dan komunikasi rutin sangat penting untuk mendukung anak.
Ajak anak berdiskusi dan mengapresiasi kerja para polisi, TNI dan petugas kesehatan yang melindungi, melayani dan membantu kita di masa tragedi. Diskusikan lebih banyak tentang sisi kesigapan dan keberanian mereka daripada sisi kejahatan pelaku teror.
- Panduan ini diharapkan bisa menjadi contoh bagi orangtua dan guru dalam mendampingi anak-anak bila terjadi peristiwa lain, yang dapat berdampak pada anak-anak, tidak hanya soal kejahatan terorisme.
Sumber tulisan: www.kareba.dutadamai.id