Sudahkah Kita Menjadi Teladan Bagi Anak Kita?

Sudahkah Kita Menjadi Teladan Bagi Anak Kita?

- in Budaya
2557
0

Semasa kecil dahulu, kita terbiasa menikmati pemandangan anak–anak yang tumbuh dan berkembang dalam pendidikan agama yang kuat. Aktifitas keseharian dimulai dari bangun subuh hingga menjelang sore mengaji ke guru atau kiai kampung yang mengenalkan huruf-huruf hija’iyah serta pengetahuan dasar agama sebagai bekal mengarungi kehidupan kelak.

Dalam pengawasan dan didikan orang tua dan guru tersebut, anak-anak tidak lantas kehilangan masa kecilnya yang penuh dengan canda tawa. Mereka tetap bisa bermain di empang sungai, bermain kelereng atau bermain bola di gang rumah bersama teman sebanyanya. Keriangan anak-anak yang larut dalam berbagai permainan mengajarkan makna kebersamaan, sportifitas dan penghargaan terhadap perbedaan, dan tidak ada sekat di antara mereka. Semua larut dalam keceriaan khas anak kecil yang sedang tumbuh berkembang.

Apa yang telah diajarkan oleh kiai kampung telah melekat dalam benak hingga dewasa. Pengetahuan tersebut merasuk ke alam bawah sadar menjadi prinsip hidup yang menjadikan anak tidak mudah untuk terpengaruh dengan berbagai ajaran yang selalu ingin menang sendiri dan merasa paling benar di hadapan Tuhan. Tentu saja keberhasilan mendidik anak tidak semata-mata keberhasilan guru, namun peran orang tua tidak bisa dinafikan sebagai Madrasatul Ula (pendidikan awal) bagi anak-anaknya.

Kembali mengingat berbagai indahnya kenangan masa kecil dalam menimba ilmu pengetahuan dengan cara menyenangkan tetapi tidak mencerabut hak anak-anak dalam bermain adalah suatu pelajaran yang sudah pasti akan diturunkan kepada generasi selanjutnya. Namun demikian, seiring perkembangan zaman serta banyaknya aliran keagamaan yang sangat getol menyuarakan kebenaran menurut versinya sendiri telah membuat kekhawatiran dalam benak orang tua. Terbukannya arus informasi yang memudahkan anak-anak mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber kerap disalahgunakan oleh sebagian kelompok.

Kelompok yang secara terbuka ingin mendirikan Negara Khilafah di Bumi Nusantara baru-baru ini memposting sebuah video yang memperlihatkan bagaimana sekelompok anak-anak diajarkan untuk membenci terhadap kelompok lain, bagaimana cara bertarung bahkan diajarkan bagaimana cara menggunakan senjata api untuk menghilangkan nyawa orang lain yang mereka sebut Thagut. Ironis sekali menyaksikan anak-anak tersebut. Sedari dini mereka telah diajarkan paham radikalisme yang menghalalkan segara cara demi mencapai tujuanya.

Tentu saja dalam pandangan sosial dan agama praktek demikian tidak bisa dibenarkan. Bayangkan anak usia dini yang seharusnya mengisi hari-hari dengan belajar, mengenal cakrawala dunia dan bermain terenggut karena ego sebagian orang tua. Tidak bisa dibayangkan seorang anak usia dini memanggul senjata dan telah ditanamkan paham bahwa selain kelompoknya berarti kafir dan wajib dimusnahkan.

Generasi seperti apa yang bisa diharapkan jika sedari usia dini anak-anak tersebut telah ditanamkan sifat kebencian, kekejian, dendam, amarah serta merasa paling benar sendiri. Sebuah peperangan antar kelompok menjadi ancaman dan tentu saja kehancuran akan segera menghampiri.

Jika telah berlaku demikian, lantas di mana peran serta tanggungjawab orang tua, di mana kewajiban sebagai orang tua untuk mendidik anak-anaknya menjadi generasi harapan bangsa serta agama? Bukankah agama hadir di muka bumi sebagai Rahmatan Lil’alamin. Bukankah Allah Rabbul Jalil mempunyai sifat Rahman dan Rahim yang tidak menyukai pertentangan di antara sesama. Dan mungkin saja mereka telah merasa paling benar atas segala tindakannya, dan tanpa disadari telah berlaku layaknya Tuhan.

Di sinilah penting untuk kembali ditegaskan bahwa orang tua sebagai Madrasatul Ula harus berhati-hati dalam mendidik anak serta memilih dan mengkaji terlebih dahulu informasi, ajaran atau paham yang berkembang agar tidak terjebak pada isu perjuangan yang mengatasnamakan agama.

Facebook Comments