Suapan untuk Yahudi Pembenci

Suapan untuk Yahudi Pembenci

- in Narasi
1749
0

Dikisahkan, di sudut pasar Madinah, seorang pengemis buta beragama Yahudi senantiasa bercuap-cuap tak terkendali menghina dan mencaci Nabi Muhammad Saw. Ini dilakukannya hampir setiap hari, seakan itu menjadi hobinya yang wajib dijalani.

Bila seorang mendekatinya, ia lantas berkata lantang: “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad! Dia hanyalah orang gila. Dia juga pembohong. Dia juga tukang sihir. Siapapun yang mendekatinya, maka ia akan dipengaruhinya.”

Kata-kata hardikan, cacian, hinaan, dan seruan untuk menjauhi Muhammad itulah yang diwiridkannya saban hari, kendati ia sendiri belum pernah melihat langsung orang yang sangat dibencinya itu karena kebutaannya. Ia juga belum pernah mendengar sendiri ajaran yang disampaikannya, bahkan ucapannya sekalipun.

Apa reaksi Muhammad Saw mengetahui dirinya dijatuhkan martabatnya sangat rendah di depan masyarakat banyak oleh seorang pengemis Yahudi itu? Bukan kebencian yang beliau tampakkan. Bukan kemarahan yang beliau kedepankan. Juga bukan dendam yang beliau teladankan.

Setiap pagi, konon Muhammad SAW mendatanginya dengan membawa makanan. Tanpa berkata sepatah kata pun, beliau senantiasa menyuapkan makanan itu pada Si Pengemis. Tentu saja dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Tetap dengan caciannya yang menyakitkan hati, Muhammad Saw sama sekali tidak terpancing untuk balik menghardiknya. Junjungan umat Islam ini tetap menyuapi penuh kelembutan dan membiarkan dirinya dicaci-maki.

Muhammad Saw melakukan rutinitas ini hingga menjelang wafatnya. Setelah beliau dipanggil pulang oleh Allah Swt, maka tidak ada lagi orang yang setia membawakan makanan setiap pagi untuk Si Pengemis, apalagi menyuapinya dengan penuh kelembutan.

Dikisahkan, suatu ketika Khalifah Pertama, Abu Bakar al-Shiddiq berkunjung ke rumah puterinya, yang juga isteri terakhir Muhammad Saw, ‘Aisyah binti Abu Bakr.

“Puteriku, adakah sunnah kekasihku, Muhammad, yang belum aku kerjakan?” tanya Abu Bakar pada puteri tersayangnya yang berjuluk Humaira itu.

“Wahai ayah, engkau seorang ahli sunnah yang hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum engkau kerjakan, kecuali satu sunnah saja”, jawab Aisyah.

“Apakah itu?” tanya Abu Bakar sungguh penasaran.

“Setiap pagi, Rasulullah SAW senantiasa pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi yang buta,” terang ‘Aisyah.

Merasa belum purna menjalankan dan meniru sunnah-sunnah kekasihnya, Muhammad, Abu Bakar tentu saja bertekad untuk sesegera mungkin menyempurnakannya. Mendengar tuturan puteri tercintanya itu, Abu Bakar pun membulatkan tekad untuk melakukan apa yang sudah dilakukan oleh kekasihnya itu dan belum ia lakukan: menemui pengemis Yahudi yang buta.

Keesokan harinya, Abu Bakar bergegas pergi menuju pasar sesuai yang ditunjukkan oleh ‘Aisyah, juga dengan membawa makanan. Hanya satu tujuannya, menemui pengemis Yahudi untuk memberikan makanan itu. Sekaligus juga ia ingin menyuapinya, seperti yang dilakukan oleh Muhammad kekasihnya.

Tatkala tokoh al-Sabiqun al-Awwalun itu mulai menyuapinya, Si Pengemis marah sembari berteriak: “Siapakah kamu?”

“Aku orang yang biasa menyuapimu,” jawab Abu Bakar membela diri.

“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku dan menyuapiku,” bela Si Pengemis Buta. “Apabila ia datang padaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah makanan yang diberikannya. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu ia menghaluskan makanan itu dengan mulutnya,” ujarnya menceritakan kebiasaan Muhammad Saw.

Mendengar penuturan Si Pengemis, Abu Bakar tidak dapat menahan aliran air matanya. Tokoh pengumpul al-Qur’an ini menangis sesenggukan. Ia tak kuasa mendengar orang yang sangat dicintainya, yang penuh jiwa kelembutan pada siapapun, itu dicaci-maki oleh musuh-musuhnya.

“Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia, yang biasa datang menyuapimu, itu telah tiada. Ia telah meninggalkan kita semua. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW, yang senantiasa engkau benci dan caci maki,” terang Abu Bakar sembari terisak.

Mendengar tuturan Abu Bakar, Si Pengemis Buta itu sontak terguncang dan menangis. “Benarkah demikian?” tanyanya memastikan “Selama ini aku selalu menghina dan memfitnahnya. Ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia begitu mulia,” imbuhnya.

Di ujung kisah, Pengemis Yahudi buta itu konon menyatakan ikrar kesetiaan pada orang yang dibencinya, Muhammad, sekaligus untuk mengikuti ajarannya.

Cerita di atas, termasuk siapa sesungguhnya Si Pengemis Yahudi yang mendapat kemormatan disuapi oleh junjungan umat Islam itu, memang masih dipersilihkan kebenarannya. Kendati sangat populer, tidak sedikit yang meragukannya. Namun demikian, yang penting menjadi poin adalah nilai ajaran dari kisah di atas: kelembutan semestinya ditunjukkan pada siapapun, hatta pada orang yang membenci kita sekalipun.

Imam Ahmad bin Hanbal dalam karyanya, Musnad Ahmad bin Hanbal, meriwayatkan pesan penting Muhammad Saw: “al-Rahimuna yarhamuhum al-Rahman. Irhamu man fi al-ardhi yarhamkum man fi al-sama/Orang-orang yang menyayangi akan disayangi Tuhan Yang Maha Penyayang. Sayangilah penduduk bumi, maka kalian akan disayangi penduduk langit.

Inilah poinnya, yakni teladan untuk menyayangi seluruh penduduk bumi tanpa memandang latar belakangnya. Sebab, kelembutan dan kasih sayang akan mendatangkan simpati. Sedangkan kekasaran dan keangkuhan justru akan mendulang antipati. Di zaman ini, kita jelas-jelas membutuhkan simpati bukan antipati, untuk membangun peradaban kemanusiaan yang luhur dan perdamaian dunia yang elegan.

Facebook Comments