Proses menyampaikan dan mendapatkan pengetahuan keagamaan mulai berubah mengikuti ritme gerak zaman. Kita bisa catat perubahan tersebut dari pola penyampaian lisan, tulisan, cetak, penyiaran hingga digital. Dewasa ini jaringan internet menjadi cara paling praktis dan banyak digandrungi khususnya generasi muda sebagai sarana mendapatkan berbagai informasi dan pengetahuan, tak terkecuali pengetahuan keagamaan.
Apabila kita cermati dari berbagai fase metode penyampaian tersebut, persoalan otoritas dan kredibilitas menjadi sangat penting. Pada masa penyampaian lisan dan tulisan tidak semua orang bisa menyampaikan pengajaran apalagi fatwa keagamaan. Kategori ulama dan mujtahid sangat ketat. Sehingga tidak diragukan, kredibilitas penyampai menentukan validitas ilmu yang layak diikuti dan dipertanggungjawabkan.
Fase cetak yang menandai proses produksi massal ilmu agama masih memegang prinsip kualifikasi otoritas dan kredibilitas. Hanya ulama dengan kapasitas ilmu yang memadai yang “berani” menulis dan memproduksi kitab. Tetapi perkembangan berikutnya banyak juga mereka dengan ilmu pas-pasan mulai menulis dan menyebarkan ilmu dan fatwa.
Berikutnya, fase penyiaran menandai proses perubahan otoritas keagamaan dari kalangan ulama atau organisasi ke perorangan yang secara pasar bisa diterima. Muncul ustadz-ustadz selebritis-tidak mengatakan semuanya-dengan ilmu seadanya tetapi bisa mengkontekstualisasi persoalan keagamaan. Fenomena ustad selebritis lambat laun menggeser ustad dengan metode konvensional. Mereka lebih digandrungi oleh masyarakat. Masyarakat ikut pengajian tidak hanya sekedar niat mendapatkan ilmu tetapi lebih banyak karena ingin bertemu artis.
Nah, fase yang tak kalah menarik adalah munculnya guru dan ustadz online. Fenomena belajar ilmu agama melalui internet cukup marak dan menjadi trend hari ini. Kemudahan dan alasan praktis tentu menjadi alasan utama. Bayangkan persoalan keagamaan bisa ditelusuri dengan kata kunci tematik tertentu melalui mesin pencari (search engine) semisal google, yahoo, bing dan lain-lainnya. Simsalabim, sekejap semua jawaban bisa didapat.
Dari keseluruhan fase perubahan cara mendapatkan pengetahuan keagamaan tersebut ada persoalan yang mesti kita jernihkan. Pertama, dari fase oral hingga digital ada pemangkasan waktu belajar dan kemudahan mendapatkan pengetahuan. Tidak perlu lama belajar agama. Tidak perlu guru langsung. Tidak perlu evaluasi dan koreksi pemahaman. Imbasnya adalah pendangkalan pemahaman keagamaan. Lebih parah lagi pemahaman agama yang salah.
Kedua, persoalan kualifikasi otoritas dan kredibilitas. Jika pada fase penyampaian oral, tulisan, atau cetak sekalipun, persoalan siapa penyampainya, bagaimana latarbelakangnya, bagaimana tingkat keilmuannya masih ada ukuran yang bisa dinilai, pada fase digital menjadi serba anonym. Kita tidak tahu persis siapa dan dari mana sumber serta kualifikasi keilmuannya. Bahkan kadang kita tidak tahu konten pengetahuan yang disebar sudah merujuk pada sumber yang benar atau tidak.
Di era digital, kita menjadi apatis dengan persoalan apakah pengetahuan keagamaan itu valid, bisa dipertanggungjawabkan, dan diasuh oleh orang yang memumpuni secara keilmuan. Parameternya mulai berubah. Kualifikasi tidak lagi ditentukan kedalaman ilmu, tetapi pada banyaknya pengunjung dan follower.
Muncul ustadz dengan popularitas tinggi dan follower banyak yang acapkali mengeluarkan fatwa dan nasehat keagamaan serampangan tetapi mudah membius generasi muda. Tak terbayangkan bagaimana seorang remaja yang masih awam dalam hal keagamaan mengakses media keagamaan atau mengikuti akun tertentu, bukan pengetahuan agama yang didapatkan, tetapi justru indoktrinasi, provokasi hingga radikalisasi.
Saya kira ini penting untuk dipahami. Banyak website dan akun bernuansakan keagamaan bahkan mengklaim media agama resmi tetapi hampir 80 persen berisi berita politik baik nasional maupun internasional penuh kebencian dan tanpa sumber jelas. Banyak juga yang hanya berisi keberpihakan golongan, provokasi hingga doktrinasi. Banyak website dan akun menyediakan ruang kosultasi keagamaan tetapi tidak jelas kapasitas keilmuan pengasuh rubriknya. Sungguh ruang maya sudah sangat tidak kondusif bagi anak muda untuk menyandarkan pengetahuan keagamaannya pada laman-laman tersebut.
Kabar baiknya, banyak juga website dan akun keagamaan yang kredibel dan otoritatif. Cara mengenali ciri website dan akun tersebut cukup mudah. Ormas keagamaan besar semisal NU, Muhammadiyah, MUI dan lembaga pendidikan semisal pesantren banyak yang sudah mempunyai website dan akun dan menyediakan kolom materi keagamaan dan konsultasi. Sumber pengetahuan keagamaan dan konten website tersebut sudah barang tentu bisa dipertanggungjawabkan.
Akhirnya, kita tidak tahu 10 tahun atau bahkan 100 tahun lagi perubahan kecanggihan zaman akan mempengaruhi cara orang dalam memahami agama. Tetapi ingat, agama tetaplah suatu kebenaran yang memandu perjalanan hidup kita. Agama tetaplah kebenaran, tetapi cara kita menggapai kebenaran itu mungkin semakin rapuh dan dangkal atau karena kita selalu mencampuradukkan antara kesalahan dan kebenaran.
Mengakses pengetahuan agama melalui internet tidak salah, tetapi jangan salah pilih. Anda harus cerdas memilah dan memilih untuk mencapai kebenaran itu. Atau anda sudah cukup puas dengan cara dangkal memperoleh kebenaran itu? Mari sejenak kita renungkan.