Sebenarnya ide penerapan negara Islam, sudah muncul pada waktu awal proses perumusan dasar negara Indonesia, terjadi perbedaan yang cukup tajam di antara pendiri bangsa ini, yakni dari faksi nasionalis dan Islam. Tetapi perbedaan itu bisa didialogkan dengan baik, dan tidak berakhir dengan pertumpahan darah seperti di Timur Tengah. Akhirnya mereka sepekat menjadikan pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan bernegara. Sehingga semua kepentingan baik agama maupun kepentingan kelompok nasionalis semua bisa terakomodir secara baik.
Nah sekarang ini muncul kembali gagasan menerapkan sistem khilafah, yang getol dipakai jargon atau alat politik kelompok radikalisme-terorisme dalam menjalankan misinya. Mereka ingin merubah Indonesia ini menjadi negara dengan sistem khilafah, padahal kita tahu bahwa pancasila sudah final. Mereka memaksakan kehendaknya itu dengan segala cara, termasuk kekerasan menjadi instrumen utama dalam menjalankan misinya tersebut.
Maka dari itu kita semua harus mempunyai langkah awal yang tepat, cepat dan akurat dalam merespon tindakan teroris ini. Meminjam bahasa Lao Tzu (604-531 SM) pendiri Taoisme beliau mengatakan;”seribu mil anda berjalan, hal pertama yang harus dilakukan adalah langkah awal”. Nah jelas di sini kita harus sepakat dan gotong royong menjadikan terorisme ini sebagai musuh bersama.
Bahwa hubungan harmonis Islam dan negara telah menjadi pemikiran para ulama terdahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka. Catatan sejarah Muktamar NU 1936 di Banjarmasin, Para ulama bersepakat, bahwa konsep kebangsaan kita bergerak pada arus utama: dar as-salam (negara kedamaian), bukan negara Islam. Inilah rumusan kebangsaan-kenegaraan yang berpijak pada konsepsi kebhinnekaan.
Jadi, sistem khilafah ini hanya cocok untuk pemimpin kelompok tertentu, suku, atau agama tertentu. Dan itu semua memang hanya bisa tumbuh subur di Timur Tengah. Karena karakhter masyarakat di sana susah bersatu, lebih menekankan kesukuan, sehingga gampang sekali terjadi gesekan fisik jika terjadi sedikit perbedaan. Maka jelas, motif politik dari sistem khilafah ini sangat kental, dan menafikkan kesejahteraan dan kedamaian rakyat. Seperti sekarang konflik berkepanjangan Timur Tengah, meminjam bahasa Kiai Siad Aqil Siraj, memang di sana ulama tidak memiliki spirit nasionalisme, begitu juga kelompok nasionalisme juga tidak ulama. Makanya jelas demarkasinya, sehingga mudah tersulut konflik.
Mari kita bongkar narasi propaganda khilafah kelompok radikalisme ini, taruhlah Islam mau mengangkat satu pemimpin (khalifah), terus siapa yang akan diangkat, pasti ini juga akan menimbulkan persoalan, dan motif politik serta kekuasaan kapital menjadi orientasi utama. Padahal menurut Al-Farabi, kapasitas kepemimpinan dalam rumusan Islam ada tiga golongan manusia yang layak menjadi pemimpin ialah: “kapasitas”, “membimbing” dan “menasihati”. Nah, dari tiga persyaratan ini tidak ada semua dalam diri kelompok radikalisme.Yang notabene sebagai pengusung sistem khilafah. Termasuk di Arab Spring-pun juga tidak ada yang memenuhi kriteria sesuai Al-Farabi di atas, buktinya sampai sekarang di sana pertumpahan darah semakin gencar.
Menurut Komaruddin Hidayat, dalam pengantar buku Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila, dijelaskan bahwa penyebab munculnya gagasan khilafah, di tengah ideologi pancasila sudah kokoh, antara lain:
Pertama, merupakan implikasi logis-psikologis dari iklim kebebasan yang terbuka dan lebar. Kelompok kecil yang selama ini merasa terpinggirkan oleh kekuasan, mendapat kesempatan untuk tampil di ruang publik. Kedua, ketika berbagai instrumen dan rasionalitas sekuler untuk membangkitkan emosi massa dianggap kurang efektif, maka perlu adanya slogan dan idiom keagamaan sebagai instrumen politik. Ketiga, cara pandang Islam dan dunia Barat, terhadap hubungan agama dan negara sangat berbeda. Pada sejarah kenabian, umat Muslim masih terngiang dengan ingatan kolektif bahwa Nabi Muhammad mewariskan konsepsi Negara Madinah sebagai konsepsi politik. Keempat, misi sejarah dan agenda kekhalifahan merupakan pembauran antara semangat kesukuan, persaingan perebutan sumber ekonomi, dan promosi madzhab keagamaan, yang semua ini tipikal sejarah Arab.
Kelima, dalam sejarahnya, konsep khilafah berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Semangat tribalisme semakin menonjol, pada periode yang semakin jauh dengan masa Rasulullah, dibandingkan dengan semangat keislaman. Keenam, sebagian besar masyarakat muslim sulit membedakan antara Islamisme dan Arabisme, maka setiap gerakan muslim yang menggunakan istilah Arab, dianggap sebagai gerakan Islam.
Nah di sinilah pentingnya kita beragama secara cerdas. Jangan sampai kita semua tertipu narasi propaganda kelompok radikalisme yang gencar mengumbar sistem khilafah. Jelas kita sudah hidup damai, rukun dengan ideologi dasar pancasila. Tugas kita sekarang mengisi kemerdekaan, bukan malah mengubah dasar negara menjadi sistem khilafah, apa kita tidak malu sama ulama kita terdahulu? Jelas, khilafah itu hanya ilusi (gagal paham) kelompok radikalisme, atau hanya motif politik untuk mengejar kekuasaan dan materi saja. Jadi, sudah jelas bahwa spirit Islam itu menganjurkan kita untuk hidup damai, dan harmonis, karena dasar negara kita yakni pancasila itu juga sangat Islami dan humanisme.