Dalam acara diseminasi hasil penelitian “Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia” yang diselenggarakan di The Wahid Institute, Lies Marcoes-Natsir, Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) menyatakan bahwa perempuan harus dilibatkan dalam proses deradikalisasi, sebab cara pandang, persepsi dan rasa yang dialami perempuan akan menjadi pertimbangan utama bagi usaha menahan hasrat kekerasan seorang anak.
Penelitian Yayasan Rumah Kitab atas peran dan posisi perempuan dalam gerakan fundamentalis Islam dilakukan dengan menggunakan pendekatan feminis yang dilatarbelakangi oleh fakta bahwa selama ini studi-studi tentang kelompok radikal absen melihat peran perempuan. Temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelompok perempuan adalah penafsir dari nilai-nilai fundamentalisme dan mereka sekaligus merupakan agen yang sangat aktif menerapkan, mereproduksi dan menyebarkan nilai-nilai fundamentalisme tersebut, apapun ragam fundamentalismenya, baik MMI, DI/NII, Salafi maupun HTI.
Ibu adalah sekolah dan sumber referensi pertama bagi proses pembentukan pola pikir anak-anaknya sejak dalam kandungan hingga masa remaja. Pikiran, emosi, perasaan dan perilaku seorang ibu memiliki pengaruh kuat dalam rentang perkembangan seorang anak. Di alam bawah sadarnya akan tersimpan baik buruk rekaman dari segala apa yang dia lihat, dia cium, dia raba, dia dengar, dia makan, dia rasa dan dia alami selama dekat dalam asuhan Ibu (Orang Tua) nya. Bila rekaman yang tersimpan notabene buruk, maka proses pembentukan pikiran anak hingga dewasa cenderung buruk. Si anak akan tumbuh sebagai anak peragu, penakut, pemarah, tidak percaya diri, mudah putus asa, pendendam dan sebagainya. Sebaliknya, bila seorang Ibu menyadari sepenuh hati peran pentingnya, maka ketahanan keluarga akan terbangun kokoh untuk anak-anak tumbuh berkembang secara baik.
Di masa tumbuh remaja anak-anaknya, sosok Ibu tidak dapat berjuang sendiri. Ia membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak; tetangga terdekat, keluarga, para guru di sekolah, teman-teman si anak, masyarakat luas dan pemerintah. Kerjasama semua pihak akan terbangun sinergis apabila sosok Ibu lebih dahulu mau membuka dirinya terhadap dinamika perkembangan sosial budaya dan kenyataan zaman. Nilai-nilai moralitas yang telah dibangun secara natural dalam proses pertumbuhan anak dari refleksi sosok terdekatnya, akan tumbuh menjadi pola pikir yang melahirkan suatu keyakinan, sikap dan perbuatan.
Dalam konteks ini, apabila pada masa pertumbuhan anak, nilai moralitas tidak terefleksi dengan baik dari seorang Ibu (keluarga), atau sebaliknya apabila sosok ibu tidak terbuka pada dinamika perkembangan sosial, maka kejiwaan dan pola pikir anak akan tumbuh berkembang tidak seimbang. Kondisi pertama akan melahirkan anak yang selalu merasa kurang percaya diri, minder dan tidak siap berkompetisi. Kondisi kedua akan melahirkan kejiwaan anak yang tertutup, kaku, cepat ambil kesimpulan, sulit menerima hal baru dan sulit menerima perbedaan. Kedua kondisi tersebut adalah pupuk awal bagi tumbuhnya pola pikir anak yang mengarah pada keyakinan akan keniscayaan cara kekerasan untuk merubah keadaan diri sendiri, orang lain, masyarakat, lingkungan dan negara, bahkan dunia.
Dua kondisi kejiwaan anak yang syarat atas kekecewaan dan kecemasan pada kenyataan yang ada, sedari awal harus disadari semua pihak terutama kaum Ibu (keluarga). Ditambah maraknya penyebaran paham radikalisme dan aksi terorisme yang beredar di masyarakat, yang melibatkan anak-anak muda, menjadi tantangan besar di depan mata. Kondisi itu akan semakin rentan dan memuluskan anak untuk mengambil jalan kekerasan untuk menunaikan hasrat dan imipiannya. Terutama di era kecepatan media informasi yang belakangan booming, tak terhindarkan mempengaruhi perilaku, sikap, pandangan bahkan nilai moral anak-anak generasi muda. Semua orang, siapapun dia, bahkan dengan niat jahat merasa berhak untuk memanfaatkannya. Kondisi seperti ini, sadar atau tidak, telah menyeret kita untuk berada di tengah-tengah perang informasi, berada dalam pertarungan propaganda berbagai pihak; termasuk propaganda kelompok radikal dan para teroris.
Dalam hal ini, para ibu seyogyanya memahami perkembangan pola pikir, sikap dan keyakinan anaknya. Peran Ibu sangat dibutuhkan menjadi filter dalam komunitas terkecilnya. Pemahaman yang dimaksud akan tercapai bila intensitas perhatian dan kasih sayangnya diwujudkan dalam bentuk, antara lain; Mendampingi anak saat menyaksikan program televisi, bermain game dan mengakses internet, Memberikan penjelasan atas apa yang disaksikan oleh anaknya apabila ada kejanggalan, Mengajak anak untuk berpartisipasi dalam menjaga kerbersihan rumah, lingkungan dan alam, Memberi kesempatan anak untuk mengungkapkan isi perasaan dan pikirannya, Mengajarkan pada anak makna perbedaan, pertemanan, persaudaraan dan kemanusiaan serta Mendorong anak untuk ikutserta dalam kegiatan organisasi dan kesenian.
Dari sejumlah bentuk perhatian di atas akan terdesiminasi semua nilai kebaikan yang bersifat universal dan lokal pada anak. Pola pikir perlahan akan terbuka dan terbangun dengan baik dari banyak sumber data yang diterima. Sebaliknya, bila hanya satu sumber saja, akan membangun sikap kaku sang anak dan klaim paling sempurna atas ideologi yang ia terima. Dampaknya, akan muncul keterasingan, kecemasan dan kekhawatiran akut akan realitas yang tidak sejalan dengan alam idealnya. Di titik inilah benih radikalisme atas nama agama tumbuh subur dalam mindset sang anak. Karenanya, perempuan (Ibu) dapat mengambil peranan preventif lebih dini dalam keluarga. Upaya ini dibutuhkan ruang yang kondusif agar Ibu mampu meningkatkan kualitas dirinya sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Semakin berdaya peranan sosok Ibu maka semakin tergaransi pemahaman dan pengamalan nilai moral dan doktrin keagamaan yang benar di masa pertumbuhan anak.