Pada umumnya manusia cenderung dikuasai oleh hawa nafsu untuk merasa menang dan benar sendiri dalam berbagai hal. Abu Bakar Al-Warraq berkata :“Jika hawa nafsu mendominasi, maka hati akan menjadi kelam, Jika hati menjadi kelam, maka akan menyesakkan dada. Jika dada menjadi sesak, maka akhlaknya menjadi rusak. Jika akhlaknya rusak, maka masyarakat akan membencinya dan iapun membenci mereka”.
Menurut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, demikian juga riwayat dari Ibnu Abi Hatim, yang diterima dari Ibnu Abbas : “Sedang Rasûlullâh menghadapi beberapa orang terkemuka Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal dan Abbas bin Abdul Muthalib dengan maksud memberi keterangan kepada mereka tentang hakikat Islam agar mereka sudi beriman. Pada waktu yang sama, masuklah seorang laki -laki buta, yang dikenal namanya dengan Abdullah bin Ummi Maktum”.
Dia masuk ke dalam majelis dengan tangan meraba-raba. Sejenak Rasûlullâh terhenti bicara, Ibnu Ummi Maktum memohon kepada Nabi agar diajarkan padanya beberapa ayat al-Qur’an. Beliau merasa terganggu sebab sedang menghadapi pemuka-pemuka Quraisy, kelihatanlah wajah beliau masam menerima permintaan Ibnu Ummi Maktum, sehingga perkataannya itu seakan-akan tidak beliau dengarkan. Beliau terus juga menghadapi pemuka-pemuka Quraisy itu. Akhirnya Allâh menurunkan surat ‘Abasa yang artinya : Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, sebab telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kalian barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)…. (Qs. ‘Abasa : 1-4) Setelah ayat itu turun, sadarlah Rasûlullâh saw akan kekhilafannya itu. Beliau lantas menemui Ibnu Ummi Maktum dan memperkenankan apa yang ia minta. Ibnu Ummi Maktum pun menjadi seorang yang sangat disayangi oleh Rasûlullâh saw.
Allâh swt begitu halus mengingatkan Rasûlullâh saat beliau sedikit saja melakukan kesalahan, sebab menurut Rasûlullâh melobi para pembesar Quraisy lebih penting dibandingkan dengan melayani Ibnu Ummi Maktum.
Sifat egoisme erat kaitannya dengan nafsu yang ada dalam diri manusia, yang sering kali tidak bisa terkendalikan, padahal Rasûlullâh SAW bersabda : “Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar…’, yang membuat para Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasûlullâh ?”Rasûlullâh berkata, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (Riwayat Al Baihaqi).
Perang melawan hawan nafsu adalah perang yang sesungguhnya. Egoisme dalam diri biasanya berkaitan erat dengan hawa nafsu, di sisi lain Rasul juga pernah mengatakan orang yang kuat bukan orang yang tangguh dalam bergulat namun orang yang kuat adalah yang bisa menahan hawa nafsunya. Nafsu cenderung mengarah pada sikap yang subjektif, dan yang hanya bisa menuntunnya adalah wahyu, sebagai jalan kebenaran.
Jalan kebenaran sangat relevan dengan nilai ketakwaan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Arti ketakwaan dalam Islam yang sesungguhnya berwujud melaksanakan segala perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya (imtitsalu awamirihi wajtanibu nawahihi), karena dalam Islam Ketakwaan harus terwujud dalam segala sisi kehidupan. Menurut Kiai Ali Musthafa Yakub, ibadah terbagi dalam dua katagori yaitu (1) ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan oleh pelaku ibadah saja, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. (2) ibadah muta’addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh orang lain sesama manusia.
Contohnya antara lain; menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, memberi bantuan beasiswa pendidikan, menolong korban bencana, menggalakkan penanggulangan kemiskinan dan kebodohan, merawat alam dan lingkungan, berbuat baik dan menebar kasih sayang kepada sesama umat dan mahluk ciptaan Tuhan, menghargai orang lain, menghormati kemajemukan, dan masih banyak lagi. Semua itu merupakan bentuk-bentuk ibadah sosial yang memberi manfaat atau kemaslahatan kepada masyarakat banyak. Penanaman dua aspek ini penting yaitu aspek ubudiyyah (pengabdian kepada Allah) dan aspek sosial kepada sesama makhluk.
Keegoan (Individualisme) yang direduksi dengan sikap altruisme (kepentingan sosial) bisa kita lihat dari kisah nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS yang tidak mengedepankan sikap egoisme saat Allah SWT mengujinya dengan suatu ujian yang sangat keras, yakni perintah untuk menyembelih putranya yang begitu disayanginya. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu: Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'” (QS. ash-Shaffat: 102)
Sungguh jawaban yang di luar perkiraan nalar manusia biasa, Ismail sang anak, Ia tidak bertanya tentang sifat dari mimpi itu, dan ia tidak berdebat dengan ayahnya tentang kebenaran mimpi itu, tetapi yang dikatakannya: “Wahai ayahku laksanakanlah apa yang diperintahkan. “Janganlah engkau gelisah karena aku dan janganlah engkau menampakkan kesedihan dan keluh-kesah. “Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Kisah di atas menunjukkan betapa keimanan bisa mengalahkan egoisme pada manusia. Hajar dan Ismail memiliki keyakinan yang teguh tidak mementingkan kepentingan pribadi, semuanya diletakkan atas dasar kepentingan Sang Pencipta.
Auguste Comte pernah menyatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi (“greater good” of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti moralitas manusia yang memberi arah suci dalam rupa naluri untuk melayani yang lain, dan menjadi sumber kebahagiaan dan karya. Pernyataan Comte ini diklaim sebagai cikal bakal altruisme dalam dunia filsafat.
Altruisme terkait dengan tingkah laku prososial (prosocial behavior), yang di dalamnya terdapat motif prososial yang nantinya menjadikan altruistik sebagai motif dan altruistik sebagai perilaku. Dalam Islam, altruisme disebut “al-Itsar“. Altruisme tersurat secara jelas dalam surat al-Hasyr ayat 9: “Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung“
Terkait dengan ayat di atas, Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsir Al-Thabary menyebutkan riwayat Abu Hurairah bahwa pada suatu hari ada seorang lelaki datang bertamu kepada Rasulullah. Karena kala itu di rumah Rasulullah tidak tersedia makanan untuk menjamu, maka beliau bertanya kepada para sahabat, “Siapakah kiranya yang sudi menjamu tamuku ini?”. Saat itu Abu Thalhah, salah seorang sahabat dari kalangan Anshor menyatakan kesediaannya.
Lalu Thalhah mengajak tamu Rasulullah tersebut ke rumahnya. Padahal ketika itu di rumahnya juga tidak ada cukup makanan kecuali untuk anak-anaknya. Untuk mensiasatinya, Thalhah memerintahkan isterinya untuk mengajak anaknya bermain, dan ketika mereka minta makan malam, mereka diajak tidur.
Ketika tamu tadi masuk ruang makan, Thalhah memerintahkan isterinya untuk mematikan lampu, agar sang tamu tidak mengetahui kalau sebenarnya makanan yang disediakan hanya cukup untuk dirinya. Thalhah dan isterinya menyertainya di ruang makan seolah sedang ikut makan. Mereka duduk bersama, sementara sang tamu makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan menahan lapar.
Ketika pagi datang Thalhah dan isterinya menemui Rasulullah, kemudian Beliau memberitahukan pujian Allah swt. kepada mereka. ”Sungguh Allah kagum dengan perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian).”(HR Muttafaq ‘alaih).
Kebersamaan hanya akan terwujud jika dalam keterhubungan itu manusia mampu saling menempatkan sebagai subyek, untuk memungkinkannya menjalin hubungan manusiawi yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan diridhai Allah SWT. Selain itu manusia merupakan suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan kaum (masyarakat) yang lain. Kebaikan ibadah sosial merupakan kemaslahatan umat, sedangkan ibadah formal sejatinya merupakan lahirnya ibadah sosial.
Akhlak mulia menuntun kita agar bersifat asketik dan humanis sehingga keberagaman kita dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Aristoteles seorang filsuf Yunani mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial (Zoon Politicon) yang saling membutuhkan satu sama lain dan tidak boleh menafikan eksistensi manusia lainnya. Ibnu Hajar menyatakan “bukanlah suatu kebaikan jika seorang naik haji untuk ke dua kalinya sementara di sekitarnya masih banyak fakir miskin yang kelaparan, bahkan pada tingkat tertentu hajinya bisa haram. Ibadah ritual tanpa dibarengi dengan keshalehan sosial tidak dapat menjamin keselamatan seseorang di akhirat kelak.
Orang memperoleh “tiket surga” bukan karena amalnya sendiri, tetapi karena mendapatkan syafaat dari Nabi Saw, sedangkan orang yang akan memperoleh syafaat nabi kelak yaitu mereka yang diakui sebagai umatnya, sementara nabi pernah bersabda : “bukanlah termasuk umatku orang yang tidak peduli terhadap urusan umat Islam.”
Dalam QS Al Ma’un di jelaskan bahwa orang yang tidak memberi makan fakir, miskin dicap sebagai pendusta agama. Hal yang menjadi bahan perenungan: seseorang tidak dapat dikatakan kaffah jika masih menuhankan egonya dan tidak mau peduli pada kepentingan sesamanya. Wa Allahu A’lam