Perkembangan paham radikalisme harus dibendung dari beragam penjuru. Saluran-saluran yang menjadi jalan masuknya ideologi kekerasan harus dihentikan dengan terus menyebarkan paham perdamaian. Setiap orang harus memiliki “benteng” yang bisa melindungi dari pengaruh-pengaruh negatif paham radikalisme. “Benteng” tersebut tak lain adalah sikap toleran terhadap perbedaan.
Semakin cepat seseorang memiliki “benteng” yang melindungi dari paham radikalisme tersebut akan semakin baik. Sebab, “benteng” tersebut tak bersifat statis. Benteng tersebut akan turut berkembang dan berkemungkinan semakin menguat seiring pertumbuhan dan kedewasaan seseorang. Artinya, upaya menanamkan pemahaman tentang nilai-nilai toleransi dalam diri seseorang diharapkan bisa mulai ditumbuhkan sejak dini. Tak hanya menanamkannya di kalangan orang tua, anak-anak kita juga perlu mendapatkan teladan, pengetahuan, serta pengalaman tentang pentingnya menghargai perbedaan di sekelilingnya agar mereka bisa tumbuh menjadi orang-orang toleran dan terhindar dari paham-paham radikal dan ekstremis yang membahayakan.
Ketika kita bicara tentang anak-anak, pihak paling berpengaruh terhadap mereka tidak lain adalah orang tua mereka. Apa-apa yang orang tua tunjukkan, contohkan, katakan, dan juga perintahkan di dalam keluarga, akan membangun pemikiran dan mental seorang anak. Dalam konteks penanaman sikap toleran, bagaimana sikap orang tua dalam memandang perbedaan dan bagaimana orang tua menyikapi perbedaan pendapat, akan banyak memengaruhi pandangan dan pemikiran anak-anak mereka. Menurut penulis, ada bebarapa hal mendasar terkait bagaimana menanamkan sikap toleran pada anak, terutama oleh para orang tua.
Pertama, orang tua harus memberikan contoh atau teladan tentang bagaimana bersikap dan bertindak toleran dalam kehidupan. Hal paling mendasar yang mesti disadari orang tua untuk menanamkan sikap toleran pada anak adalah dengan memulai dari diri sendiri, misalnya dengan menerapkan pengasuhan yang menjunjung tinggi toleransi di lingkungan keluarga. Artinya, menjamin perbedaan pendapat di setiap anggota keluarga, termasuk anak. Tentu, orang tua tetap memiliki prinsip atau norma yang harus dipegang dan menjadi aturan sebuah keluarga. Toleransi di sini lebih kepada bagaimana membangun suasana dialogis di lingkungan keluarga.
Konkretnya, bagaimana orang tua memastikan setiap pemikiran anak bisa tersampaikan, kemudian mengakomodirnya secara bijak dan menjadikannya pertimbangan dalam setiap keputusan. Apresiasi bijak terhadap setiap pemikiran anak menjadi penting agar anak tak terkekang. Ketika anak berkembang di lingkungan keluarga dengan karakter tersebut, besar kemungkinan ia akan terbentuk menjadi individu yang memiliki penghargaan terhadap perbedaan. Ia akan berpikiran terbuka, memandang perbedaan pendapat sebagai hal biasa, dan siap melakukan dialog dengan siapa saja.
Kedua, selain memberi teladan dengan sikap dan tindakan, orang tua tetap harus menguatkannya dengan penjelasan. Anak butuh konfirmasi, perkataan, penguatan, dan kejelasan tentang sikap orang tua. Terlebih, dalam konteks menanamkan nilai-nilai toleransi ini, anak butuh deskripsi penjelasan yang bisa menguatkan kesadaran mereka tentang pentingnya saling menghormati.
Ketiga, selain teladan dan perkataan, orang tua juga harus memberikan kesempatan kepada anak untuk merasakan pengalaman langsung tentang belajar hidup harmonis saling dalam perbedaan. Jika anak sudah terbiasa bergaul dalam lingkungan yang beragam latar belakang, tentu tak jadi masalah. Tapi, kita mungkin sepakat bahwa masih ada orang tua melarang secara kaku anaknya untuk berinteraksi dengan temannya yang berbeda keyakinan, suku, ras, atau golongan. Padahal, lewat pengalaman itulah anak akan belajar secara langsung tentang nilai-nilai penghargaan terhadap perbedaan. Aspek pengalaman ini bisa dikatakan merupakan hal yang paling bermakna yang akan berkontribusi besar terhadap terbangunnya sikap toleran dalam diri anak.
Sebagaimana konsep belajar melalui pengalaman (eksperimental learning) yang menekankan pada proses dan kebermaknaan pengalaman sebagai bahan pembelajaran, interaksi dengan teman atau orang lain yang berbeda akan berdampak besar bagi kepribadian anak dalam belajar memahami perbedaan. Tentang hal ini, sastrawan AS Laksana pernah menuliskan kisah menarik tentang anaknya pada waktu SD yang harus menginap di rumah retret saat berlatih paduan suara sebelum mengikuti festival paduan suara di Hongkong. Kita tahu, rumah retret adalah rumah kegiatan ruhani para pemeluk Katolik, sedangkan anaknya, seperti halnya dirinya, adalah seorang muslim.
Dengan menginap di rumah retret, anak tersebut melihat bagaimana orang-orang Katolik berdoa, pernah juga masuk ke Gua Bunda Maria yang ada di halaman belakang rumah retret. AS Laksana mengaku senang dengan pengalaman yang dirasakan anaknya tersebut. “Saya yakin pada saatnya seluruh pengalaman itu akan memberinya pengetahuan yang bermanfaat. Ia memiliki persinggungan yang menyenangkan dengan pemeluk agama lain. Ia tak akan, dan tidak perlu, menyimpan prasangka bahwa orang-orang yang beragama lain adalah ancaman,” tulis sastrawan tersebut (Jawa Pos, 25/12/2016).
Toleransi memang bukan sekadar anjuran yang berakhir di perkataan. Toleransi adalah sikap yang harus ditumbuhkan dan terus dipupuk lewat pengalaman-pengalaman langsung dalam keseharian dengan berinteraksi dan menjalin hubungan yang dengan saudara kita yang berbeda. Ketika orang sudah melihat perbedaan sebagai hal biasa yang harus dihargai (tidak menganggapnya sebagai ancaman yang membahayakan dan perlu disingkirkan), maka bisa dikatakan ia sudah bisa hidup berdampingan di masyarakat yang majemuk dan plural seperti di Indonesia.
Baik keteladanan orang tua, penjelasan, maupun pengalaman langsung, ketiganya akan mengkonstruksi bangunan kepribadian anak yang tak gagap terhadap perbedaan. Yakni sebuah bangunan kepribadian yang menjunjung tinggi toleransi dan persaudaraan terhadap semua orang dan semua golongan. Pada gilirannya, nilai-nilai toleransi tersebut akan menjadi benteng yang melindungi anak-anak kita dari segala bentuk paham ekstrim dan gerakan-gerakan radikalisme yang tak ramah terhadap perbedaan. Wallauhu a’lam..