“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”( QS. Ath-Taghobun, ayat 14)
Dalam ayat tersebut, Allah memberikan peringatan keras kepada kita bahwa bisa jadi anak-anak kita akan menjadi musuh bagi kita. Ini sangat memilukan, karena hubungan orang tua dan anak bukan interaksi biasa, melainkan interaksi jasmani dan ruhani. Tetapi jangan salah, banyak kisah mengabarkan hubungan anak dan orang tua justru menjadi musuh utama.
Kini, paham radikalisme sudah menyusup kepada anak-anak. Banyak kasus di berbagai daerah, anak dan orang tua saling bertengkar karena urusan praktik ritual agama. Laporan Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kemenag Makassar tahun 2016 menjelaskan bahwa ditemukan potensi radikal di berbagai sekolah. Hasil temuan Litbang ini adalah sebanyak 23 atau 2,1% siswa sangat bersedia untuk melakukan aksi bom bunuh diri dan 91 atau 8,3% siswa bersedia untuk melakukan bom bunuh diri. Meski persentasenya hanya sekitar 10% siswa yang memiliki keinginan untuk melakukan bom bunuh diri, tetapi ini sangat mengkhawatirkan .
Dari sini, mmenguatkan kembali pendidikan anti-radikalisme harus dimulai sejak dini. Usia dini menjadi masa emas untuk membentuk karakter anak yang toleran dan menghargai sesama. Pendidikan usia dini menjadikan jiwa dan ruhani seorang anak melekat dengan nilai-nilai luhur. Karakter yang kuat bagi anak usia dini menjadi modal paling berharga dalam menatap masa depan.
Proses penciptaan hubungan damai nan harmonis sangat strategis kalau dilakukan melalui dunia pendidikan. Terbukti, ragam kekerasan dan terorisme seringkali dialamatkan bersumber dari lembaga pendidikan. Bukan saja lembaga pendidikan banyak yang terjerat dengan selubung terorisme dan radikalisme, tetapi kekerasan seolah melekat dalam praktek keseharian pendidikan kita. Banyak kisah menyedihkan terlansir di berbagai media ihwal kekerasan yang masih belum usai dari lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan berperan penting mencetak kader bangsa dalam meneguhkan spirit toleransi dan menolak kekerasan. Kalau lembaga pendidikan mempunyai visi toleran, pastilah siswanya bisa menebarkan jiwa toleransi dan perdamaian kepada masyarakat. Sayang sekali, lembaga pendidikan kita masih belum maksimal dalam menjawab problem toleransi kebangsaan kita. Justru lembaga pendidikan seringkali terjebak dalam sikap intoleran, bahkan cenderung berlebih dalam fanatisme.
Peradaban Damai
Membangun peradaban yang damai harus dikuatkan dalam lembaga pendidikan kita. Pendidikan merupakan media paling efektif dalam membangun generasi masa depan yang paham dengan toleransi dan kesetaraan. Untuk itu, sekolah perlu mendeklarasikan sebuah kurikulum yang “nyaman” bagi anak usia dini, yang dimaksudkan untuk menumbuhkan pemahaman dan saling menghormati antar sesama yang berbeda-beda. Termasuk juga mengenalkan pendidikan agama bagi anak usia dini,perlu strategi yang jitu yang sesuai target.
Dalam pendidikan kita selama ini, pengajaran perbedaan agama hanya sebatas “berbeda” an sich. Dalam arti, perbedaan masih sebatas pengetahuan, di mana keyakinan kita tetap yang paling benar, paing baik (the best), sementara yang lain (the others) adalah salah dan tidak sempurna (uncompletely). Pemahaman seperti ini sering mengarahkan kita kepada absolutisme keyakinan, sehingga keyakinan yang lain tidak bisa berdampingan.
Dalam konteks inilah, pendidikan toleransi bagi anak usia dini sangat strategis. Peran guru akan menjadi titik sentralnya. Guru harus mampu membangun mentalitas anak usia dini dengan bijaksana. Guru tidak hanya mengajarkan berbagai tempat ibadah dan sebagian ajaran agama lain, namun perlu menanamkan agar seorang anak usia dini dapat menerima dengan senang hati eksistensi agama orang lain. Dalam arti, anak didik tidaklah harus membatasi dirinya untuk bergaul dengan kawan-kawannya selain yang beragama seperti yang dianutnya. Semua harus ditempatkan dalam posisi sama dan setara.
Dalam hal ini, guru harus mendesain harmoni di tengah polah lucu anak usia dini, termasuk menyangkut persoalan keyakinan, maka kita wajib melakukannya dengan senang hati dan tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, perlu pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana mewujudkan pergaulan yang toleran dan humanis. Toleran, yakni dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada pemeluk agama lain untuk bergaul dan mengembangkan dirinya sebagaimana diri kita sendiri. Sedangkan humanis adalah bagaimana kita memperlakukan mereka sebagai sesama manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai human being.
Pendidikan yang mengedepankan toleransi dan humanisme inilah yang akan memberikan terobosan spektakuler dalam membangun perdamaian. Anak-anak usia dini akan menjadi remaja dan pemimpin masa depan yang setia dengan NKRI.