Hubb al-wathan min al-iman (cinta tanah air sebagian dari iman), menjadi jargon yang terus menggema di kalangan warga nahdhiyyin, yang menjadi warna tersendrii bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri – yang oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia (2017) disebut sebagai – “zamrud toleransi” ini.
Jargon yang bermuara pada KH. Muhammad Hasyim Asy’ari ini benar-benar menjadi pemicu dan pemancik kecintaan yang mendalam pada diri kaum sarungan khususnya dan kaum muslim Indonesia umumnya, untuk terus mencintai, menjaga dan bahkan membela NKRI hingga titik darah penghabisan, dari berbagai rongrongan baik internal maupun eksternal bangsa ini.
Atas dasar itu, bahkan acapkali bergema semboyan “NKRI Harga Mati”. Apapun lalu dikorbankan, baik harta, raga maupun jiwa. Inilah sebentuk kecintaan atau bahkan madness (kegilaan) pada tumpah darah yang patut diapresiasi setinggi-tingginya, kendati oleh kalangan tertentu kecintaan yang demikian dianggap sebagai “syirik” alias penyekutuan pada Tuhan.
Pertanyaannya: apa sesungguhnya yang dimaksud dengan tanah air? Apa landasan atau argumen naqli kecintaan pada tanah air? Bagaimana menjelaskan kecintaan pada tanah air, termasuk bela negara, sebagai bagian dari iman?
Oleh al-Jurjani, dalam al-Ta’rifat (1405 H/327), tanah air diistilahkan sebagai al-wathan al-ashli yakni negara asal atau tempat kelahiran seseorang dan negeri tempat ia menetap atau tinggal. Dalam konteks Indonesia, definisi ini sesuai ketentuan kewarganegaraan. Ada warga negara yang didapat karena kelahiran (tempat lahir) dan ada yang karena naturalisasi (peralihan dari warga negara asing menjadi warga negara Indonesia dengan persyaratan yang ketat). Dua-duanya tetap diakui sebagai warga negara yang sah. Dan dua-duanya wajib mencintai dan menjaga tanah airnya sebagai bentuk jihad bela negara.
Doktrin naqli kecintaan pada tanah air ini bisa ditemukan referensinya dalam Hadis-hadis Rasulullah Saw. Terkait Makkah sebagai Tanah Air kelahiran beliau misalnya, Ibnu Abbas menuturkan, beliau bersabda: “Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu.” (HR. Ibnu Hibban).
Madinah juga merupakan Tanah Air Rasulullah Saw, karena di situlah beliau menetap menyiarkan ajarannya setelah diusir dari Makkah oleh kaummnya. Kecintaan beliau pada Tanah Air barunya juga sangat tinggi. Diceritakan dari Anas bin Malik, setiap pulang dari bepergian, tatkala beliau melihat dinding Madinah, beliau lalu memacu kendarannya dengan cepat, supaya lebih cepat sampai di Madinah. (HR. al-Bukhari). Ini menunjukkan keutamaan Madinah dan disyariatkannya mencitai tanah air serta merindukannya, demikian komentar Ibnu Hajar al-Asqalani (Fath al-Bari, 1379 H: III/621).
Sedangkan terkait bela negara, sesungguhnya banyak ayat al-Quran yang mengisyaratkan aneka bentuk jihad yang patut dilakukan. Pertama, jihad mempertahankan kedaulatan negara. Keataan pada ulu al-amri (pemerintah) itu dilegalisasi oleh ayat al-Quran. Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Qs. al-Nisa 4]: 59).
Selama pemerintah tidak menyuruh rakyatnya menjalani kemaksiatan, maka ketaatan wajib diberikan padanya. Dalam Hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari al-A’masy, Rasulullah Saw menyatakan: “Innama al-ta’ah fi al-ma’ruf (sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang makruf).” Bila rakyat diperintah bermaksiat pada Allah Swt, maka saat itu tidak ada ketaatan pada-Nya.
Termasuk bentuk nyata ketaatan pada pemerintah, misalnya, ketika pemerintah menuntut rakyatnya untuk mempertahankan kedaulatan negara dari rongrongan pihak lain, termasuk dengan mengangkat senjata/berperang. Allah Swt berfirman; “Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibanding dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain dan kamu tidak akan memberikan kemudaratan padaNya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Taubah 9]: 38-39).
Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang mundur di waktu itu kecuali berbelok (untuk siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al-Anfal 8]: 15-16). Ayat-ayat ini menyuruh warga-bangsa berjihad angkat senjata mempertahankan kedaulatan negaranya dari aneka gangguan.
Kedua, jihad mempertahankan kesatuan dan persatuan. Seperti diketahui, bangsa ini terdiri dari berbagai keragaman, baik agama, bahasa, suku, budaya dan sebagainya, sesuai kehendak Allah Swt (Qs. al-Hujurat [49]: 13). Keragaman inilah yang patut dijaga dan dirawat, yang karenanya lalu muncul semboyan luhur bhinneka tunggal ika.
Jihad mempertahankan kesatuan dan persatuan juga ditegaskan secara nyata oleh al-Quran. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu” (Qs. al-Anbiya’ 21]: 92). Firman-Nya juga: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara”. (Qs. Ali Imran [3]: 103).
Ketiga, jihad mengawal kebijakan yang berkeadilan dan berkemaslahatan bagi rakyat. Kaidah fikih menyebutkan: tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi mashlahah (kebijakan penguasa berorientasi untuk kemaslahatan rakyat). Tak heran, jika dalam berbagai ayat al-Qur’an, Allah Swt berkali-kali menegaskan pentingnya keadilan.
Allah Swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.” (Qs. al-Nisa [4]: 135). Firman-Nya lagi: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian saksi yang adil karena Allah. Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menghalangi kalian berlaku adil. Berlaku adil-lah, karena perbuatan adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (Qs. al-Ma’idah [5]: 8). Dan tugas warga bangsa adalah berjihad mengawal kebijakan yang berkeadilan ini supaya menyebar ke seluruh elemen masyarakat untuk kesejahteraan mereka.
Melihat ayat-ayat dan Hadis-hadis di atas, karenanya sangat wajar bila mencintai tanah air dan jihad membela negara, minimal dalam tiga bentuknya itu, menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia. Lalu di mana posisi “membela negara bagian dari iman”? Ini karena bela negara tak lain merupakan bentuk pengamalan pada ayat-ayat al-Quran dan Hadis. Bukankah itu bentuk nyata dari keimanan seorang mukmin pada Tuhan dan Nabinya? Inilah keimanan sesungguhnya!