Perdebatan (kembali) mengenai kompabilitas Pancasila yang dibenturkan dengan agama (Islam), sekaligus usaha sungguh-sungguh serta komitmen (jihad) untuk menggugatnya (lagi) sebagai dasar negara sudah semestinya patut disudahi, diakhiri. Selain tidak melihat realitas kemajemukan bangsa, dapat dikatakan pula bahwa tindakan itu adalah ahistoris.
Dikatakan ahistoris karena perdebatan tentang itu sudah pernah dilakukan oleh para founding father bangsa kita pada kurun waktu tahun 1940-an. Ialah perdebatan yang dilaksanakan oleh golongan nasionalis sekuler yang dikomandoi oleh Soekarno pada satu sisi. Sedangkan di sisi yang lain oleh golongan nasionalis agamis, yang diwakili oleh M. Natsir. Tidak ada salahnya jika kita meninjau ulang salah satu sejarah bangsa yang sudah terekam apik dalam buku-buku sejarah bangsa.
Dan yang penting ditekankan adalah bahwa itu bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Kesimpulannya, setelah melakukan perdebatan akademik yang cukup panjang, mereka kemudian “bersepakat” untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat final. Pancasila ini (dalam Wahyuni, 2017: 59) merupakan kesepakatan yang berbentuk philosopische grundslag untuk membentuk negara bangsa, yang menjadi jalan tengah sebagai sebuah negara yang tidak sekuler sekaligus tidak didasarkan pada agama tertentu.
Kesepakatan yang sejak awal sulit dicapai oleh kedua belah pihak itu bukan lantaran tanpa dasar. Juga bukan menghasilkan siapa yang kalah dan yang menang. Tetapi oleh sebab persatuan bangsa yang perlu diutamakan atau dikedepankan, mereka saling berjabat tangan dengan erat untuk mendesain bangsa yang satu sama lain dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rata.
Mari Move On
Oleh karenanya, jika kita harus memperdebatkannya lagi, sudah tentu itu hanya menghabiskan energi yang besar. Waktu kita akan habis hanya untuk mengurusi tindakan yang tak sepatutnya dilakukan. Tak sepatutnya dilakukan karena itu sifatnya hanya pengulangan. Hasilnya pun hanya berupa kesia-siaan. Bahkan tak hanya sekedar kesia-siaan karena membuang energi secara cuma-cuma.
Lebih dari itu, kerugian besar pun besar kemungkinan akan kita dapatkan. Karena dengan demikian itu tidak menutup kemungkinan kita akan kecolongan. Kecolongan dari apa? Ialah disintegrasi bangsa dan negara. Bangsa Indonesia besar kemungkinan akan pecah. Hal tersebut berbanding lurus dengan pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), negara kita tercinta ini. Kemungkinan itu berpeluang besar terjadi.
Sebab kemajemukan NKRI yang tak bisa terelakkan. Membuat ideologi negara atas dasar golongan tertentu sama saja menamenafikan realitas kemajemukan bangsa. Toh kalaupun kemajemukan itu tetap ‘diadakan’, di dalamnya terdapat pihak-pihak yang dinomorsatukan dan dinomorduakan. Ada pihak yang ordinat dan subordinat.
Tentu saja hal tersebut tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab sejatinya setiap pihak tidak ingin disubordinasikan. Tak ada yang ingin disebut minoritas dan sejenisnya. Di mata negara, semua pihak, apa pun latar belakang suku, agama, ras dan sejenisnya, semua memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Tidak dibeda-bedakan. Dan itulah keampuhan Pancasila
Sebagai dasar negara, Pancasila dapat diterima oleh segenap elemen bangsa dari beragam latarbelakangnya. Sebab di dalamnya memuat nilai-nilai luhur bangsa yang bersifat universal. Juga sangat kompatibel atau selaras dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan dan sejenisnya yang diajarkan oleh agama, tak terkecuali Islam.
Oleh karenanya, di era sekarang ini, sudah semestinya kita move on. Kita berhijrah alias berpindah tempat kepada zaman di mana kita tidak lagi mempersoalkan atau bahkan berusaha mengganti ideologi negara kita. Zaman perdebatan itu sudah dilakukan oleh para founding fathers negara kita. Karena itu, jangan sampai apa yang disebut sejarawan Kuntowijoyo (dalam Suhelmi, 2002: 219) sebagai ‘sejarah yang terputus’ (distrupted history) itu menimpa kita. Karena kita terancam mengulanginya.
Berjihad Bersama Pancasila
Yang tak kalah penting dari move on adalah kita juga perlu berjihad bersama Pancasila. Perlu usaha sungguh-sungguh dan komitmen bersama untuk menegakkan nilai-nilai amanat Pancasila. Tanpa itu, agaknya mustahil bila ideologi yang kita percayai sebagai ideologi modern itu mampu mengantarkan Indonesia menuju negara kemajuan. Sebab amanat itu sejak kita merdeka hingga sekarang masih banyak yang belum diwujudkan. Salah satu misalnya ialah berkaitan erat dengan kesejahteraan sosial.
Sebagaimana diketahui, bahwa beberapa bulan lalu, Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) telah menerbitkan laporan tentang ketimpangan ekonomi di Indonesia. Dalam laporan itu dijelaskan bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia yang tercatat 25 miliar dolar AS sama dengan gabungan harta 100 juta orang miskin di Indonesia (Republika, 23/02/2017). Sungguh menakjubkan lagi memilukan. Karena bersamanya melekat persoalan lainnya seperti meningkatnya tingkat kriminalitas dan yang lainnya, dan bahkan tindakan radikal sebagai efek dominonya.
Jauh panggang dari api. Dari sini terlihat jelas bahwa Sila Kelima dalam Pancasila kita “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” masih jauh belum terwujudkan. Ketimpangan sosial masih begitu kentara. Inilah yang disebut Ahmad Syafi’I Ma’arif bahwa nilai-nilai Pancasila masih ditempatkan di (awing-awang) atas langit, belum dikebumikan. Dan masih banyak persoalan yang mengemuka yang sangat mencolok mata, akibat nilai-nilai Pancasila belum diturunkan dan direalisasikan dalam kehidupan kita itu.
Oleh sebab itu, dalam konteks zaman kekinian ini, maka tidak salah jika spirit jihad itu kita realisasikan untuk menggapai kemenangan bangsa kita, bersama Pancasila. Ialah bahwa selain kita harus berhijrah dari zaman para pendiri negara ke zaman sekarang, dengan tidak mempersoalkan dan bahkan berupaya (lagi) mengganti Pancasila sebagai dasar negara, kita juga wajib berjihad atau bersungguh-sungguh mewujudkan nilai-nilai yang diamanatkan Pancasila. Tanpa jihad itu, agaknya mustahil cita-cita bangsa sebagaimana termaktub di pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat direalisasikan. Wallahu’alam