Kampus merupakan ujung tombak penyebaran ataupun pemberantasan virus-virus radikalisme. Karena, kampus merupakan tempat berkumpulnya para generasi muda yang sedang mencari ilmu serta jati diri. Apapun ilmu pengetahuan yang ia dapatkan akan menjadi dasar pijakan perjalanan hidup para generasi muda. Menariknya, ilmu pengetahuian yang didapatkan di kampus tak sekadar dari ujaran para dosen, namun para kenalan di sekitaran kampus.
Para mahasiswa di seluruh pelosok dunia dipastikan tidak sekadar pergi dan pulang ke kampus untuk sekadar mengikuti perkuliahan di kelas. Mereka juga berinteraksi dengan para teman, berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap kompeten di bidangnya, hingga mengikuti berbagai seminar yang dianggapnya “keren”. Dari sinilah, para mahasiswa kita akan menemukan segepok ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Atas perbedaan dan kebebasan pada setiap mahasiswa akan kegiatan yang dilakukan menjadikan mereka memiliki perbedaan pengetahuan dan pengalaman pula. Bahkan, dalam satu fakultas atau bahkan jurusan terdapat mahasiswa yang mendapatkan ilmu pengetahuan “keras” dan “lunak”. Para mahasiswa yang mendapat ilmu pengetahuan “keras” akan berpotensi menjadi pelaku radikal. Sementara, para mahasiswa yang berilmu pengetahuan “lunak” akan menjadi pribadi yang humanis.
Perbedaan ini sering kali bukan atas “kemauan” mahasiswa sendiri, namun sesuai dengan skenario orang-orang yang ingin membentuk karakter para mahasiswa. Dalam pada itulah, terdapat kelompok yang sering berada di lingkungan kampus dalam rangka membentuk pribadi keras para mahasiswa. Dengan mengatasnamakan agama (Islam), mereka mengajak para mahasiswa agar “berdakwah” dengan cara keras.
Para “pendakwah” dengan cara yang keras seakan lupa atau bahkan menyembunyikan firman Allah SWT, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesal dari jalan-Nya. dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl: 125).
Meski kelompok keras ini tidak banyak mendapat tempat di dalam lembaga pendidikan formal kampus, namun mereka memiliki ruang gerak yang cukup memadahi di kalangan kampus. Mereka pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Beragam acara dilakukan dalam rangka menggait para mahasiswa agar menjadi bagian dari mereka. Pertama kali, mereka merayu agar para mahasiswa menyukai kelompoknya. Selanjutnya, para mahasiswa menjadi bagian yang mesti mendapat pelajaran sesuai dengan visi dan misi kelompok.
Ketika para mahasiswa sudah tertarik dan mau belajar kepada kelompok radikal ini, maka sudah menjadi alamat betapa generasi muda ini akan menjadi perpanjangan tangan kelompok ini. Selain mereka disiapkan sebagai militan yang siap mengorbankan apapun, mereka juga disiapkan sebagai calon pendidik di kampung-kampung halaman masing-masing. Dalam pada itulah, tidak mengherankan manakala saat ini banyak mahasiswa yang berani menyalahkan ibadah orang-orang yang ada di kampung halamannya. Bahkan, orang tuanya disalah-salahkan dalam menjalankan ibadah karena tidak sesuai dengan yang telah didapat dari kelompoknya.
Bermula dari sinilah, kampus harus mampu membendung penyebaran virus radikal di kalangan mahasiswa. Pihak kampus harus memastikan bahwa di lingkungannya tidak ada kelompok yang sengaja menyebarkan paham radikal kepada para mahasiswanya. Pihak kampus juga mesti mengetahui pandangan-pandangan mahasiswanya. Selain itu, para mahasiswa juga harus pandai memilih teman serta lingkungan sehingga akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang positif, bukan yang mengajak kepada tindak radikalisme. Wallahu a’lam.