Agar Paham Radikal Tidak Laku di Kampus

Agar Paham Radikal Tidak Laku di Kampus

- in Narasi
1964
0

Akhirnya perguruan tinggi menyadari bahaya infiltrasi paham radikal yang makin merasuk di kalangan mahasiswa. Pada 28 September 2017, di Lapangan Hijau UIN Raden Fatah, sebanyak 5000 mahasiswa se-Sumatera Selatan mendeklarasikan diri untuk menolak radikalisme dan khilafah masuk ke dalam kampus. Mahasiswa ini merupakan perwakilan dari 23 kampus di Sumsel (mediaindonesia.com). Kamis (6/7/2017), Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jatim melaksanakan deklarasi anti radikalisme bersama-sama dengan universitas se-Jawa Timur. Acara ini merupakan bentuk kesetiaan civitas akademika untuk mempertahankan empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika (voaindonesia.com). Pada 11 Mei 2017 -bertempat di Taman Nostalgia, Kupang- ribuan mahasiswa dan dosen dari 16 PT di NTT mengggelar deklarasi paham radikalisme dalam kampus (kompas.com).

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) juga menunjukan komitmennya menangkal gerakan radikal. Rabu, 26 April 2017, sebanyak 55 pimpinan PTKIN sepakat menolak paham intoleran, radikalisme, dan terorisme. Sebab semuanya berbahaya bagi eksistensi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keresahan ini tertuang dalam Piagam Aceh yang dibacakan di Universitas Islam Negeri Ar Raniri, Banda Aceh (republika.co.id)

Paham radikal biasanya menjangkiti di kampus-kampus umum. Sebab mahasiswa dan dosennya dirasa lebih mudah “ditaklukan” dengan pemahaman yang menyimpang. Berbeda dengan kampus berbasis keagamaan yang dirasa lebih sulit karena mahasiswanya lebih kritis dan paham tentang agama. Tetapi belakangan, gerakan radikal makin berani merambah ke kampus berbasis keagamaan (seperti UIN).

Saat ini, kampus makin tidak steril dari pencemaran paham radikal. Di berbagai kampus besar di Indonesia (baik negeri ataupun swasta), kelompok fundamentalis makin giat menyebarkan paham dan merekrut pengikut-pengikutnya. Sasaran paling empuk adalah mahasiswa yang kurang memiliki basis agama yang kuat. Sehingga ketika diajak bergabung dengan kelompok radikal yang berlabel agama, sangat mudah tertarik. Selain itu, mereka yang sedang bersemangat mencari kebebasan saat menyandang status baru sebagai mahasiswa. Mereka akhirnya mudah dipengaruhi dan akhirnya mengamini setiap ideologi yang dituangkan dalam otaknya. Fenomena ini tentu membutuhkan penanganan serius dan segera agar generasi muda Indonesia bisa diselamatkan.

Kelompok radikal mengincar mahasiswa karena posisinya yang sangat strategis. Secara keilmuan, mahasiswa memiliki nilai lebih. Kecendekiawanan melekat padanya. Tidak semua orang bisa mendapatkan pelajaran seperti di bangku kuliah. Selain itu, status sosialnya lebih dianggap dibanding kelompok masyarakat lainnya. Sehingga keberadaannya selalu dinanti oleh orang banyak. Secara tidak langsung, hal ini menjadikan mahasiswa sebagai role model. Tindak-tanduknya akan selalu diikuti sekelilingnya Mahasiswa pun akan mengisi pos-pos penting di masa depan. Seperti pejabat-pejabat publik yang bisa mengarahkan banyak orang. Maka tidak heran kelompok radikal menyasar kalangan mahasiswa sebagai persiapan untuk menaruh mereka dalam struktur gerakan radikal.

Penulis beberapa kali mendapati mahasiswa yang terjebak dalam gerakan radikal. Biasanya saat mereka memutuskan bergabung dengan kelompok menyimpang, akan sulit melepaskan diri dari pengawasan mereka. Pernah saat sedang sendiri di masjid kampus, penulis didatangi oleh orang yang mengajak diskusi tentang agama. Saat terus melayani diskusi, tiba-tiba orang ini mengatakan kita harus berhijrah dari Indonesia. Sebab negeri ini tidak berlandaskan ajaran agama Islam. Dia pun mengeluarkan al-Quran dan mengutip banyak dalil agama. Pada ujung diskusi dia menawarkan agar mengucap syahadat kembali dan melakukan baiat. Mereka inilah yang berasal dari kelompok NII (Negara Islam Indonesia). Hingga sekarang, pola seperti ini masih terus dilakukan di berbagai tempat. Selain ancaman NII, kampus pun wajib mewaspadai gerakan ISIS dan kelompok radikal-teroris lainnya.

Banyak fakta yang bisa dijabarkan terkait hal ini. Bahwa meraka yang mendapat pendidikan di perguruan tinggi bisa terjebak dalam aksi teror. Contohnya Dr. Azahari dan Noordin M. Top (dalang teror Bom Bali). Ada juga Bahrun Naim, lulusan perguruan tinggi di Jawa Tengah, yang akhirnya menjadi salah satu pemimpin ISIS di Indonesia. Ada juga 2 mahasiswa dari perguruan tinggi di Jawa Timur yang diduga kuat menjadi anggota ISIS. Jika terus ditelusuri, niscaya semakin banyak mahasiswa yang terlibat kelompok teroris. Apalagi yang sekedar menaruh simpati atas aksi teror, pasti lebih lagi. Beberapa aktivitas radikal pun banyak yang dilakukan oleh mereka yang masih berstatus sebagai mahasiswa aktif.

Untuk mengatasi hal ini, perlu kesadaran seluruh elemen terkait. Khususnya pihak kampus dan mahasiswa itu sendiri. Pihak kampus harus makin peka dengan kondisi di lapangan. Perlu makin aktif mengikuti dinamika yang terjadi di lingkungannya. Jika ada gejala-gejala yang mengarah pada penanaman ideologi radikal, perlu ditempuh langkah pencegahan. Beberapa upaya deklarasi di atas merupakan awalan saja. Butuh turunan kebijakan yang bisa mencegah mahasiswa terjerumus gerakan radikal. Contohnya memberikan orientasi nilai-nilai kebangsaan saat mahasiswa menginjakan kakinya di kampus. Atau semacam penataran/kuliah intensif tentang keberagaman. Mata kuliah pun bisa dimanfaatkan mengajarkan semangat toleransi.

Sementara kepada mahasiswa, sebaiknya selektif memilih organisasi atau komunitas di kampus. Agar aman, bisa bergabung dengan organisasi yang telah berpengalaman dan tidak bertentangan dengan spirit bangsa Indonesia. Untuk organisasi bercorak Islam, misalnya ada IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Mahasiswa pun harus mengasah daya kritisnya. Jangan mudah termakan propaganda kelompok radikal yang ingin mengajaknya bergabung. Nalar kritis ini bisa dibangun jika mahasiswa rajin melahap bahan bacaan dan berdiskusi secara intens. Tetapi carilah bacaan yang mampu menjelaskan agama secara menyeluruh. Tidak parsial sehingga malah membingungkan.

Selain hal di atas, jika perlu mahasiswa pun bisa membuat aliansi gerakan untuk membendung masuknya paham-paham radikal di kampus. Seperti mengadakan diskusi rutin tentang agama yang ramah, dialog mengenai urgensi toleransi, membuat buletin tentang pentingnya kebhinnekaan, dan sebagainya. Jika menemui temannya yang terindikasi paham radikal, mahasiswa bisa membantunya berkonsultasi dengan pihak yang tepat. Sehingga bisa mengembalikan pemahamannya sesuai ideologi bangsa. Jika perlu, di setiap kampus perlu dibuat semacam crisis centre bagi “korban” ideologi radikal. Dengan beragam kegiatan tersebut, niscaya akan mampu mengerem kelompok radikal agar tidak terus-menerus melancarkan aksinya di kampus. Sebab gerakan radikal pasti tidak akan laku.

Facebook Comments