Waktu pergantian tahun dari 2017 menuju 2018 baru saja usai dirayakan. Sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk berbenah dan mengevaluasi diri, termasuk dalam hidup bermasyarakat di Indonesia yang multikultural ini. Indonesia sejak dahulu kala terdiri dari pelbagai suku, adat, budaya, dan agama. Fakta tersebut menjadikan keragaman ialah harga yang tidak bisa ditawar lagi di bawah Bendera Merah Putih. Keragaman tersebut menjadi warna indah seperti halnya pelangi yang menghiasi nusantara, dari Sabang sampai dengan Merauke.
Mempersatukan keragaman Indonesia tidaklah mudah, dalam perjalannya tentu wajar apabila menemui kendala. Salah satu kendala yang dihadapi ialah adanya asumsi tolok ukur keadilan yang dilihat dari segi kuantitas. Paradigma yang menyatakan bahwa mayoritas berhak atas segalanya yang berada di Tanah Air ini tentu akan menyalahi hukum yang berlaku apabila tidak disikapi dengan benar.
Indonesia sebagai negara yang beradab tentu menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, pun jika kebenaran tersebut datang dari kelompok minoritas. Artinya, untuk memperkuat persatuan dalam hidup bernegara, paradigma mayoritas dan minoritas harus dihilangkan. Semuanya setara dan berhak menjalankan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia.
Semua permasalahan yang terjadi akan berakhir dengan damai apabila diselesaikan dengan musyawarah. Adanya dialog antarkelompok dan golongan tersebut akan menghasilkan pemahaman dan sudut pandang baru, sehingga akan terpupuk toleransi yang tinggi. Selain itu, dialog juga akan menghasilkan keputusan yang objektif dan proporsional, sehingga tidak berat sebelah. Adanya sikap saling menghormati antarkelompok dan golongan tentu akan memupuk keharmonisan, sehingga tercapai apa yang dicita-citakan pada Sila ke-3 Pancasila, yaitu persatuan Indonesia.
Peluang dan Tantangan Dunia Maya
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dewasa ini turut berperan penting untuk memupuk toleransi. Penggunaannya yang tepat akan semakin memupuk rasa toleransi masyarakat. Namun sebaliknya apabila teknologi digunakan dengan salah, maka toleransi antarmasyarakat pun bisa tergerus. Dampaknya ialah disintegrasi bangsa yang hampir tidak bisa dihindari apabila hal tersebut benar-benar terjadi secara masif.
Internet merupakan salah satu temuan teknologi yang kebermanfaatannya sangat tergantung oleh penggunanya. Internet mengandung peluang serta tantangan besar jika digunakan untuk memupuk toleransi.
Peluang internet tentulah sangat besar, salah satu manfaatnya ialah jangkauannya yang sangat luas. Internet tidak mengenal wilayah geografis, artinya informasi yang diunggah oleh masyarakat di wilayah tertentu berpotensi diakses oleh masyarakat di seluruh dunia. Karena luasnya jangakauan internet tersebut, maka tidak heran apabila kemudian internet dikenal sebagai dunia maya. Internet menjadi alam maya, yang luas wilayahnya tidak memiliki batas-batas territorial seperti halnya di dunia nyata.
Terkait peluang internet untuk memupuk toleransi, luasnya jangkauan di dunia maya tersebut bisa dioptimalkan untuk menebarkan pesan-pesan perdamaian. Pesan-pesan perdamaian tersebut akan memberikan informasi kepada masyarakat yang sebelumnya belum saling mengenal, sehingga akan tumbuh pemahaman terhadap orang yang berbeda. Pemahaman tersebut akan bermuara pada sikap toleran, dan tidak mudah memonopoli kebenaran. Pepatan mengatakan “tak kenal, maka tak sayang” hal tersebut merupakan pondasi dari pemanfaatan internet sebagai media silaturahmi dan saling memahami.
Di samping peluangnya yang begitu menjanjikan, dunia maya nyatanya juga memiliki tantangan yang tidak bisa dianggap remeh. Maraknya ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoax) sangat rentan menggerogoti nilai-nilai toleransi yang terus diupayakan.
Hoax akan diyakini sebagai suatu kebenaran jika Ia disebarkan secara terus menerus dan meraih banyak atensi dari para wargant (netizeni). Padahal, banyak sekali hoax yang beredar dengan mencatut hal-hal sensitif semacam suku, ras, dan agama. Hal tersebut tentu sangat mengancam keharmonisan yang selama ini terus diupayakan. Monopoli kebenaran dalam media sosial acapkali terjadi karena adanya paradigma kebenaran hanya muncul dari mayoritas, seperti halnya teori mengenai hoax.
Adalah fakta bahwa dunia maya mengandung peluang serta tantangan, dan semuanya sangat tergantung pada penggunanya. Memperbesar peluang dunia maya untuk menyebarkan pesan perdamaian akan berakhir pada tumbuhnya nilai toleran antarmasyarakat. Sebaliknya, menggunakan dunia maya dengan ceroboh akan menyebabkan disintegrasi bangsa. Menjadi warganet yang cerdas ialah permulaan untuk memupuk toleransi di jagat maya, sehingga kedepannya dunia maya menjadi lebih menyejukkan. Menindaklanjuti hal tersebut, masing-masing individu harus memiliki resolusi untuk menjadikan dunia maya lebih sejuk pada 2018 ini.