Meskipun sudah lewat, suasana tahun baru masih terasa. Sia-sia perayaan pun masih tersebar di beberapa media, terlebih sosial media. Beberapa pengguna sosial media berlomba-lomba menampilkan yang terbaik menampilkan kenangan dalam pergantian tahun.
Namun, lebih dari sekedar kemeriahan agenda kegiatan yang dipersiapkan untuk menyambut tahun baru, secara lebih spesifik, kita sebagai bangsa Indonesia seyogyanya juga memiliki kesiapan menyambut momentum berharga tersebut sebagai semangat baru. Semangat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik untuk hari ini, bahkan esok hari.
Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap masyarakat Indonesia di awal tahun ini dengan penuh kesungguhan untuk benar-benar mengagendakan dan mewujudkan suatu perubahan. Perubahan seperti apa? Jelas perubahan yang membuat Indonesia tetapi dalam keadaan damai dan lebih damai dalam perbedaan yang ada.
Seperti seorang siswa sekolah yang baru naik kelas ke tingkat yang lebih tinggi. Pertama kali seorang memasuki kelas baru dan meninggalkan kelas lama, ada semacam kebiasaan di kelas lama yang tanpa sadar dibawanya ke kelas baru. Tahun baru juga begitu rasanya. Kita memasuki tahun baru, tapi ada kebiasaan tahun lalu yang sulit diubah, direkonstruksi, dan bahkan diganti dengan kebiasaan yang lebih baik. Dan, tugas kita adalah menyelami secara reflektif dan kritis apakah ada tingkah laku yang semestinya diubah, diganti, bahkan harus dibuang dan ditinggalkan.
Dalam mitologi Yunani kuno, awal tahun baru masehi diberi nama Januari, karena diambil dari nama Janus, salah satu dewa yang memiliki dua wajah. Kenapa Januari memiliki dua wajah? Sebab, di satu sisi bulan ini berdekatan dengan tahun 2017 dan juga babak awal memasuki tahun 2018. Biasanya, ada peralihan budaya di awal tahun (Januari). Kita bakal merasa susah menanggalkan kebiasaan di tahun 2017, tapi cahaya optimisme meruak setiap kali memandang kalender yang berganti dengan angka 2018.
Tahun baru harusnya diisi dengan refleksi, tafakkur, dan renungan kasih terhadap kondisi bangsa yang sedemikian lelah dengan soal sosial-politik, ekonomi, budaya, dan tetek bengek soal lainnya. Jengah hati ini dengan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama bahkan perbedaan yang ada.
Demi mewujudkan sebuah perdamaian dalam sebuah perbedaan, Hans Kung dalam teorinya menyebutkan bahwa untuk menembus dinding perbedaan itu harus diadakan sebuah dialog. Menonjolkan sebuah etika global yang bersifat universal berdasarkan nilai-nilai agama mungkin dicapai karena setiap manusia secara antropologis meyakini akan Yang Absolut.
Kung justeru mengafirmasi potensi agama-agama untuk membangun landasan etis bersama bagi perdamaian global. Agama bukanlah suatu hypostase. Agama tidak tinggal dalam dunia Platonik, tetapi merupakan agama manusia biasa dengan daging dan darah. Suatu agama yang menyejarah yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan, dan terlibat dalam menyelesaikan krisis dan keprihatinan umat manusia.
Dalam diri agama, kita bisa melihat nilai-nilai universal yang dapat dipakai semua orang. Seperti, Islam mendasarkan pada keadilan dan kesetaraan, keadilan semua lapisan semua lapisan lemah masyarakat dan kesetaraan bagi semua manusia, baik pria atau wanita. Kristen, pada sisi lain, mendasarkan pada cinta dan ma’af yang sangat penting bagi hubungan manusia. Sebagai agama Ibrahim, Yahudi juga melandaskan pada keadilan. Agama-agama India, Hinduisme menekankan universalisme dan toleransi. Janisme pada non-violence dan budhisme pada kasih sayang.
Bagi Kung, agama adalah fenomena universal manusia. Ia adalah dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mungkin tergantikan oleh ideologi lain, apakah humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau yang lain. Memang benar bahwa agama juga telah menyebabkan destruksi, tapi kenyataanya agama juga membawa pembebasan manusia, ikut menyumbangkan nilai-nilai keadilan, toleransi, solidaritas, demokrasi, HAM, perdamaian dunia, dan seterusnya, bahkan menjadi kekuatan etika non-kekerasan.
Bagi Kung, dengan bukti-bukti bahwa agama bisa menjadi fondasi bagi identitas psikologis, kedewasaan manusia, kesadaran diri yang sehat serta kekuatan pendorong perubahan sosial, Kung menolak agama dipandang sebagai proyaksi atau sarana pelipur lara, apalagi ilusi kekanak-kanakan.
Sebagai manusia yang memiliki akal sehat tentunya kita harus bisa merubah cara berpikir dan berperilakunya yang keliru dengan cara melejitkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya secara maksimal dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan, menebarkan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang mungkar yang merugikan manusia lainnya.
Kita akan dianggap kelompok orang yang beriman jika dalam setiap gerak kita aksi kita selalu bertaburan kebaikan dan sepi dari kemungkaran. Kesadaran untuk menjadi mukmin secara hakiki akan mengantarkan kita kepada pola pikir dan aksi yang positif, mendorong kita untuk melakukan kerja besar dan menghindarkan kita dari perbuatan/pekerjaan yang sia-sia.
Itulah semangat yang harus mulai ditanamkan dalam jiwa ketika membangun Indonesia tercinta. Selamat tahun baru 2018. Semoga kita bahagia selalu menjalani tiap detik, menit, jam, dan hari di tahun yang akan datang. Sebab, tahun adalah sekumpulan ruang dan waktu yang didalamnya, kita harus mulai mencelubkan diri memberikan arti bagi kehidupan. Bukankah mendiang bung Karno pernah mengajarkan, bagi bangsa pejuang tidak ada stasiun terakhir ?