Minggu ini, dengan mantap kita masuki sebuah permulaan waktu yang baru lagi. Banyak pihak yang mengatakan bahwa tahun ini sebagai tahun yang berat untuk dilewati. Mungkin hal ini tidak-lah berlebihan, sebab tahun ini merupakan tahun pondasi bagi setiap partai dan aktor-aktor di dalamnya untuk dapat beroleh kemenangan. Diperkirakan tahun ini, setiap insan perpolitikan akan mulai menyusun setiap amunisi dan kekuatan secara habis-habisan guna dapat keluar sebagai pemenang dalam kontestasi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) serentak dan/atau pemilihan umum skala nasional. Masing-masing pihak akan sangat menggunakan setiap momentum yang ada untuk meraih simpati dan panggung untuk dapat menarik perhatian masyarakat. Bahkan ketika pun tidak memiliki momentum, tidak-lah mustahil bila setiap aktor yang hendak bertarung akan berupaya menciptakan momentum tersebut.
Seperti telah kita ketahui bersama, isu yang paling kuat untuk ditunggangi adalah isu sara. Hal ini sudah jelas, sebab di setiap kontestasi baik di level daerah maupun nasional, isu-isu seperti agama atau pun hal-hal primordial seringkali masuk dalam agenda kampanye. Kampanye yang dimaksudkan di sini dapat berupa upaya memasukkan beberapa agenda yang meletakkan keberpihakan pada sejumlah hal yang berhubungan dengan agama atau pun bisa juga berupa kampanye hitam untuk membunuh karakter dan image kandidat lain. Imbasnya lagi-lagi ada di level masyarakat. Narasi kebencian, perselisihan hingga penolakan akan muncul untuk memuluskan hal tersebut. Setidaknya, Jakarta dapat dilihat kembali sebagai contoh nyata bagaimana narasi kebencian dan turunannya menggila ketika masa kontestasi pemilukada berlangsung.
Kita ketahui bersama setidaknya ada banyak daerah yang akan melaksanakan pemilukada pada tahun ini. Sehingga membiarkan hal-hal semacam itu terjadi kembali, sebenarnya sama saja dengan membiarkan kebodohan merajalela. Pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan yang mesti diterima. Persoalannya adalah belakangan fenomena gerakan penyelesaian yang kerap dihadirkan oleh sejumlah pihak di negara ini hanya bertitik tekan pada gerakan reaktif atas persoalan yang ada. Membiarkan pola-pola demikian terjadi, jelas menjadikan kita semakin tidak siap dengan manuver-manuver gila yang mungkin saja dilakukan oleh para aktor-aktor penunggang isu sara tersebut. Pada gilirannya negara akan lemah, sebab diserang dari banyak celah. Masyarakat pun akan terkotak-kotak dan bukan tidak mungkin benturan yang lebih keras dibanding apa yang telah terjadi pada pemilukada Jakarta tahun lalu akan terjadi.
Hal tersebut sangat besar potensinya terjadi, sebab di sejumlah wilayah di Indonesia tetap saja memiliki keragaman meskipun populasinya tidak sebanding satu dengan yang lain. Sebut saja daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara atau pun Kalimantan Timur. Di daerah-daerah tersebut memang terdapat basis massa yang kuat dalam aspek kualitas serta kuantitas, namun juga terdapat kelompok masyarakat minoritas yang sangat potensial untuk “terinjak” karena dinamika politik yang mungkin terjadi. Ini yang mesti diperhatikan dengan cermat, sebab isu primordial menjadi tunggangan yang cukup kokoh, bila mampu memainkannya untuk dapat mendirikan rezim.
Bila kita telah mengetahui persoalan tersebut, mengapa kita tidak coba menyelesaikannya? Pertanyaan itu tentu langsung mencuat dalam ruang berfikir kita, sebab hingga kini persoalan demikian seolah tak pernah bermuara pada tahapan penyelesaian.
Kuatnya peran politik identitas seperti agama dalam kehidupan masyarakat kita, menjadikan hal tersebut sukar untuk diuraikan. Namun di sisi lain sebenarnya ini pula-lah jalan keluar untuk dapat mencegah dampak buruk dari politisasi isu primordial serta terorisme. Negara dalam konteks rezim pemerintahan yang berkuasa tidak dapat bermain sebagai “single fighter” untuk menciptakan keamanan dalam tahun politik ini. Sebab bila hal tersebut dilakukan oleh pemerintah maka dapat dipastikan hanyalah langkah represif yang hadir. Sementara kita telah menyepakati bahwa hal tersebut bukanlah yang kita harapkan terjadi saat ini. Pemerintah bersama pemuka agama negeri ini dan para budayawan harus mampu duduk bersama untuk menggali kembali rumusan ke-Indonesiaan yang beragam dalam bingkai Pancasila. Melalui figur-figur tersebut yang mesti dilakukan berikutnya adalah menyiarkannya melalui segala macam akses secara terus-menerus.
Kita tidak bisa lagi hanya menggunakan momentum-momentum tertentu seperti hari-hari besar tertentu untuk menyiarkan tentang pesan damai. Sebab seperti kita telah rasakan, lompatan yang dihasilkan politik yang menginstrumentalisir isu sara gampang sekali untuk sampai pada titik tertinggi bila dibandingkan dengan isu lainnya. Sehingga bila dibiarkan maka gesekan di akar rumput potensial berubah menjadi konflik yang pedih.