Dalam beberapa waktu terakhir kita bisa menyaksikan hadirnya sejumlah persoalan social, yang beberapa di antaranya berimbas dalam kehidupan bermasyarakat. Imbasnya bisa secara langsung maupun hanya mempengaruhi pemikiran. Salah satu hal yang terjadi dan cukup banyak mendapatkan perhatian banyak pihak adalah apa yang terjadi kepada dua orang artis yang menggeluti dunia lawak tunggal (stand up comedy), yang familiar disebut sebagai komika. Tanpa harus menyebutkan nama dari juru hibur tersebut, kita akan berupaya belajar memahami persoalan mendasar bangsa ini sehingga sebuah lawakan yang bermaksud untuk menghibur malah hadir menjadi sebuah masalah di tengah-tengah masyarakat. Melalui tulisan ini kita akan mencoba memahami persoalan apa yang sejatinya menghinggapi bangsa ini sehingga candaan yang alih-alih menghibur, justru mendapati kenyataan yang terbalik pada sejumlah orang.
Stand up comedy sejatinya bukanlah sebuah produk baru dalam dunia hiburan. Kita sebenarnya tidak susah bila ingin mencari tahu model lawakan demikian dan siapa saja pelakunya di masa lalu, bahkan untuk di Indonesia sendiri. Sudah sejak lama pola lawakan demikian hadir sebagai bentuk variasi dari hiburan itu sendiri. Materi yang diangkat pun sangat beragam, namun umumnya berangkat dari sebuah keresahan yang dikemas dalam bentuk humor. Tidak jarang apa yang tersaji adalah sebuah kritikan atas persoalan yang dihadapi banyak orang atau bisa juga personal komika tersebut sendiri. Melalui permainan diksi dan penggunaan pola-pola tertentu, audiens digiring untuk mengapresiasi keresahan yang tengah komika sajikan dengan tertawa.
Seperti kita ketahui bersama, upaya penciptaan apresiasi dalam bentuk tawa untuk sebuah lawakan bukanlah hal yang mudah. Bahkan banyak yang mengatakan lebih mudah membuat orang lain marah atau pun menangis ketimbang tertawa. Kita mesti mengakui bahwa ada upaya keras yang mesti dilakukan oleh masing-masing individu bila ingin menciptakan tawa dalam sebuah percakapan. Tidak jarang observasi yang tajam, penggunaan diksi yang sesuai dan penggunaan waktu yang tepat belumlah cukup bila tidak memperhatikan ruang penyampaiannya sendiri. Sebab bila diperhatikan, sebuah lontaran candaan yang sama terkadang tidak bekerja dengan baik dan tidak menghasilkan tawa ketika dihadirkan dalam ruang yang berbeda. Sehingga bila di momentum dan ruang tertentu sebuah tawa mampu tercipta atas lontaran candaan, maka kita bisa mengatakan bahwa upaya yang dilakukan pihak tersebut berhasil.
Kesensitifan dalam beragama
Disadari atau pun tidak, banyak dari masyarakat yang belakangan lebih sensitif dalam beragam. Nampaknya memang betul ungkapan yang mengatakan bahwa “Gus Dur, Tanpamu Semua Repot”. Sebab dulunya kita bisa beragama dengan sangat menyenangkan dan membahagiakan, belakangan seperti terkekang oleh banyak sistem yang beberapa di antaranya terdapat kalin-kelindan dengan persoalan politik bangsa. Kita pun belakangan sering melihat bahwa kitab suci hanya menjadi sebatas bacaan, agama hanya kebanggaan serta Tuhan hanya menjadi pujaan (idola). Bila sudah demikian, bukankah kita tidak semakin jauh dari esensi kita bermasyarakat, bernegara dan beragama? Keberagaman yang merupakan keniscayaan, terkurung pada politik identitas yang dipelintir menjadi sebuah kebencian terhadap beberapa pihak hanya karena takut dikritik meski hanya lewat sebuah komedi.
Bila hal yang demikian yang terjadi, memang yang paling gampang dilakukan adalah menyalahkan para pelawak tunggal tersebut dan kemudian ikut memberikan saran yang seolah ideal. Saran-saran yang dimaksudkan seperti, lebih baik memilih candaan yang lain, hati-hati bila hendak memilih banyolan dan seterusnya. Saran-saran tersebut sejatinya hanya mengunci rapat ruang kekritisan yang ada dalam kepala kita untuk sekedar mempertanyakan ke dalam diri apa yang sebenarnya terjadi. Sebab dengan melakukan hal demikian, sebenarnya banyak masyarakat yang hanya terjebak dalam upaya penumpulan nalar kritis.
Yang disajikan para pelawak tunggal tersebut adalah sebentuk kritik terhadap kehidupan kita yang dominan menggunakan politik identitas secara pragmatis dan kotor ketimbang penghargaan dan upaya merayakan perbedaan. Banyak dari kita yang merasa perlu membela sebuah hal yang sejatinya salah, hanya karena merasa satu identitas tertentu. Substansi utama dalam bernegara seiring waktu bergeser oleh permainan kotor para politisi yang mengedepankan politik identitas yang ditambah lagi kemalasan setiap individu untuk belajar menjadi kritis.
Bila orang-orang dalam ruang penyampaian lawakan tersebut mampu tertawa, mengapa kita semua tidak mencoba belajar memahami apa sebenarnya substansi narasi dari komedi tunggal yang disampaikan oleh mereka. Dengan berangkat dari beberapa pertanyaan kecil seperti, benarkah hal tersebut terjadi disekeliling kita, Apakah kita bagian dari lingkungan tersebut dan seterusnya harusnya mampu membuat kita tertawa tanpa mesti harus tersinggung apalagi harus reaktif atas sebuah lawakan kritis. Mari kita semua saling belajar “menertawakan perbedaan” termasuk yang ada dalam diri kita masing-masing, agar perdamaian dalam bingkai kebhinekaan bisa semakin dekat, hangat dan terawat.