Politik dan Banalitas Media Sosial

Politik dan Banalitas Media Sosial

- in Narasi
1243
0

Politik sejatinya bukan sekedar trik dan intrik. Politik adalah cara, jalan untuk sampai pada tujuan. Politik bukanlah sistem kotor seperti yang ditampilkan para politikus dewasa ini dan banyak dihindari generasi muda. Politik adalah semua hal yang berkaitan dengan tata kelola terutama negara. Yang namanya tata kelola dibuat secara sengaja, diatur sedemikian rupa agar mampu dikontrol perkembangannya dengan tujuan yang baik dan benar. Bukan untuk memanipulasi apalagi menguasai dan menyetir orang/kelompok.

Tahun politik yang jatuh pada tahun ini dan tahun depan tampaknya akan lebih panas melalui perang media yang lebih intens lagi. Sistem kampanye melalui Media sosial akan menjadi cara baru untuk merebut hati simpatisan yang menguntungkan dan murah dari segi pembiayaan. Masyarakat harus ekstra hati-hati mengingat pengalaman pilpres Amerika Serikat dan Prancis yang sarat akan hoax. Jika masyarakat sekelas Amerika tidak mampu mengelak dan bebas dari fitnah di media apa kabar masyarakat Indonesia yang masih gagap seolah baru bangun tidur saat melihat kemajuan teknologi informasi?.

Isu primordial diprediksi akan kembali menjadi isu yang memanas pada pesta demokrasi kali ini. Denny JA (founder Lingkar Survei Indonesia) memprediksi isu primodial yang kemungkinan bangkit adalah kaum pribumi yang menjadikan ekonomi sebagai basis dan kekuatan islam konservatif yang berperan dalam 212 pilkada DKI Jakarta juga akan meluaskan pengaruhnya. Ini artinya permasalahan yang terkait SARA tinggal menunggu waktu sebelum dipantikan dan ditumbalkan pada seseorang. Siapa korbanya? sudah sangat jelas jawabanya. Mereka adalah pengguna media sosial, warganet yang tidak cakap memfilter informasi, yang mudah dikopori dan memiliki solidaritas semu tanpa kemampuan berpikir kritis.

Mereka yang lemah dan hobi mencari perhatian, mengeluh serta senang mendapat simpatik dan like akan menjadi saasaran utama untuk diprovokasi. Kirim satu berita menantang maka mereka akan dengan senang hati menjadi sukarelawan, pahlawan untuk menyebar luaskannya meski tanpa imbalan. Bahayanya adalah jika sebagian besar netizen terprovokasi, ini akan mengancam kelangsungan demokrasi yang bersifat luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil).

Banalnya politik dan medsos sejatinya bukanlah perkara fungsi asli keduanya diciptakan. Politik dan medsos ibarat pisau bermata dua yang fungsi dan kegunaanya dipegang penuh oleh penggunanya. Sama halnya dengan kekuatan, teknologi, juga pengetahuan. Keduanya hanya alat, media perantara dan yang memegang penuh kendalinya adalah penggunanya. Ketika penggunanya adalah mereka yang tidak cakap, alhasil citra politik akan semakin negatif dan medsos akan semakin tersudutkan. Begitu juga sebaliknya jika penggunanya cakap dan berintegritas niscaya Indonesia mampu mandiri dan berbangga diri.

Lahirnya politik yang banal, media yang kasar tak lepas dari penggunanya yang banal dan kasar. Apalagi sebagai hal baru, medsos tanpa disadari mulai menguasai manusia dan menyetir segala kehendak. Fakta dan gosip, privasi dan publik, baik dan benar melebur jadi satu tanpa sekat pemisah yang pasti dan jelas.

Izadian zaini fahroji dalam bukunya “menyemai benih keberhasilan” mengungkapkan bahwa tindakan mengeluh dimedsos pada awalnya akan terasa baik karena rasa simpatik yang diberikan orang lain. Namun jika itu menjadi kebiasaan akan menjatuhkan mentalitas kita menjadi mental korban. Mental yang selalu berada diposisi menyedihkan, menderita, tidak memiliki daya untuk memegang kendali. Inilah sesungguhnya celah yang dimanfaatkan, kesempatan yang digunakan untuk mengendalikan mereka yang labil yang mudah diprovokasi. Sehingga kita menjadi objek yang disetir para pemilik kepentingan bukan subjek yang bebas menetukan pilihan, yang berhak menentukan sikap sendiri.

Menyalahkan hukum dan pemerintah yang tidak becus bukanlah solusi. Karena sekali lagi hukum juga alat, penggunanyalah yang semestinya menggunakan dalam jalur yang benar. Sebagai pihak yang sadar kita harusnya membenahi diri kita, kita reduksi banalitas di media agar tampak lebih ramah dan berkelas. Kita belajar hanya memposting yang baik. Tidak ringan tangan menshare keburukan dengan alasan apapun.

Para politikus juga haruslah cerdas dalam menggunakan medsos sebagai media kampanye. Pilih cara yang mendidik masyarakat bukan yang menimbulkan adu domba. Sebagai publik figur mereka harus mulai berhati-hati dalam mempost apapun termasuk tegas melarang pendukungnya untuk berbuat yang tidak ma’ruf. UU ITE mesti lebih dipertegas dan diperketat ruang jaga dan kontrolnya. Sedikit saja ada indikasi penyebaran isu SARA penegak hukum harus gesit menindak serta terus menerus menghimbau masyarakat untuk tidak terpengaruh.

Masyarakat sebagai sasaran, calon korban juga harus berhati-hati dan tidak mudah terpancing isu-isu tidak jelas apalagi berbalik jadi pemprovokasi dengan cara meneruskannya. Masyarakat harus cerdas memilih dan menetukan. Mereka yang merasa mampu, cakap, dan masih memiliki ideologi nasionalisme serta moral haruslah tampil kedepan agar politikus dan pemangku kekuasaan tidak melulu didominasi mereka yang haus akan kekuasaan, jabatan dan harta. Karena Allah hanya akan mengubah keadaan suatu kaum ketika kaum itu yang merubahnya (Q.S. Ar Ra’d:11).

Facebook Comments