Belakangan ini, kekisruhan di ruang media sosial maupun ruang hidup manusia yang nyata telah melahirkan kekhawatiran terhadap nasib keberlanjutan bangsa ini. Fenomena ini bukanlah suatu hal yang berlebihan, sebab hangatnya konstelasi sosial dan politik belakangan ini tenyata banyak memiliki irisan dengan persoalan kontestasi pencalonan para pemimpin daerah, para wakil rakyat dan pemimpin nasional. Perdebatan yang ada terkadang semakin keruh tatkala unsur agama masuk dalam perdebatan yang ada. Kita bisa menyaksikan hal tersebut di media sosial seperti rekaman youtube atau media sosial lainnya dan juga dalam kehidupan nyata seperti dalam rumah-rumah ibadah. Saking gencarnya indoktrinasi pemahaman agama terutama yang berbau radikal membuat kita kesulitan untuk kembali merasakan kerukunan yang sejak dulu kita miliki dan kerap kita koar-koarkan. Bahkan mungkin bagi generasi yang lahir di atas tahun 1998, pengertian kata toleransi, pluralisme dan kerukunan telah mengalami banyak pergeseran dari yang dulu pernah dirasakan bangsa ini.
Ini tentu menarik untuk dikaji lebih lanjut, sebab lewat fenomena hari ini kita bisa mendapati bahwa kata toleransi dan kerukunan berlaku bila kita tengah berbicara tentang kepentingan pemeluk agama mayoritas di sebuah tempat. Namun bila sebaliknya, hal tersebut tidak dapat dipakai karena mendadak hilang entah ke mana. Dalam catatan Setara Institut saja didapati bahwa pada 2017 lalu terdapat 201 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama yang tersebar di 26 provinsi di seluruh Indonesia. Yang menariknya adalah sebagian besar dari persoalan tersebut mendera individu, warga dan kelompok minoritas di negeri ini. Pihak-pihak yang menjadi sasaran tersebut antara lain adalah penganut Konghucu, Kristen, Buddha, Hindu, hingga Syiah. Pelaku-pelakunya sendiri beragam, mulai dari pemerintah sendiri, hingga organisasi-organisasi semacam FUI atau pun FPI.
Kapital dan Arena
Melalui analisis yang dibangun oleh seorang Filsuf Perancis dalam kajian Sosiologi yaitu Pierre Bourdieu diperoleh pemahaman bahwa dalam ruang sosial masyarakat selalu ada tempat pertarungan setiap individu. Tempat pertarungan tersebut dalam konsep Pierre Bourdieu disebutnya sebagai Arena. Dalam arena tersebut masing-masing individu akan bertarung untuk dapat menghegemoni pihak lainnya. Untuk mewujudnyatakan hal tersebut, setiap masing-masing individu tersebut memerlukan modal atau pun dalam bahasa filsuf tersebut disebut sebagai kapital. Kapital apa pun yang dimiliki seseorang, bukanlah sebuah hal yang bersifat statis, melainkan potensial untuk dapat ditransformasikan dalam banyak hal, apalagi dalam ruang politik dan sosial. Seorang Terry Ray (2004) bahkan mampu melihat realitas tersebut secara khusus dalam aspek agama, di mana Agama dapat dijadikan sebuah modal untuk dapat memenangkan sebuah arena pertarungan baik itu sosial, ekonomi atau pun politik. Inilah yang sering diabaikan banyak pihak ketika melihat fenomena agama, khususnya di negara ini.
Spesifik untuk negeri ini, kita bisa menyederhanakan konsep tersebut dengan melihat secara sekilas fenomena banyaknya para pemuka agama yang ada saat ini. Memang ada beberapa pihak yang memiliki pemahaman yang mapan dan baik terkait agama. Meski demikian banyak pula pihak-pihak yang belakangan hadir dengan kapital-kapital agama, namun sejatinya hanya bertujuan menggunakan ruang agama untuk dijadikan kapital mereka dalam ruang pertarungan politik dan sosial. Banyak dari mereka yang bergerak sebagai kelompok penekan dengan cara mempengaruhi pemikiran banyak orang berselubungkan identitas suatu agama. Melalui penggunaan simbol-simbol tertentu, kutipan ayat dalam kitab suci, cara berbicara layaknya seorang alim-ulama dan penggunaan hal lain yang identik dengan sebuah agama mengukuhkan bahwa mereka tengah memperjuangkan kepentingan agamanya. Padahal sejatinya, jauh panggang dari api. Mereka hanya bersembunyi dalam identitas tersebut untuk mendapatkan panggung bagi mereka.
Pemuka Agama Pengukuh Damai
Tentu akan sangat tidak adil bila kemudian kita melihat agama sebagai salah satu penyebab aksi-aksi kekerasan an sich. Dalam banyak realitas, kita tak dapat menafikkan peran agama dalam menjaga kerukunan, toleransi dan pluralisme sebagai salah satu ide memperkokoh keutuhan bangsa. Sebut saja nama-nama seperti Presiden ke-4 negara ini yaitu Kyai Haji Abdurrahman Wahid, Uskup Soegijapranata, Romo Mangunwijaya, hingga Kyai Haji Mustofa Bisri, merupakan beberapa tokoh agama yang dengan cara mereka masing-masing terus berupaya dalam mengingatkan pentingnya menjaga keutuhan negara dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan kapital yang dimiliki, mereka telah memproduksi banyak sekali pemahaman mengenai agama dalam realitas bangsa Indonesia. Selayaknya kita meneladani cara berfikir mereka dalam berbagai karya kita. Mereka masing-masing tetap teguh dalam beragama, namun pehargaan terhadap nilai kemanusiaan dan kecintaan terhadap keutuhan bangsa tetap dapat berjalan beriringan. Ajaran mereka tersebut tentu akan musnah dengan sendirinya bila kita tidak berupaya merubah diri menjadi agen bina damai yang mengikuti ajaran mereka dalam karya kita masing-masing.