Ulama Bijak, NKRI Tegak

Ulama Bijak, NKRI Tegak

- in Narasi
2307
2

Di tengah masyarakat Indonesia yang multikurtural, peran ulama sebagai pengayom dan pemersatu umat menjadi tak tergantikan. Dalam arti, di samping menjalankan peran sebagai pendakwah, pembina, dan pembimbing umat Islam untuk selalu di jalan agama, ulama juga berperan sebagai teladan dan pengayom masyarakat agar selalu hidup rukun dan harmonis dengan saudara sebangsa. Sebab, pada dasarnya, ajaran untuk hidup rukun dan damai dengan sesama manusia adalah bagian dari ajaran Islam itu sendiri.

Di samping itu, hal tersebut juga tak lepas dari sejarah berdirinya bangsa ini, di mana sejak awal bangunan Indonesia merdeka memang berdiri di atas segala perbedaan dan kemajemukan yang ada. Dengan kata lain, ulama diharapkan menunjukkan kebijaksanaan ketika terjadi perselisihan atau pertikaian di masyarakat. Ulama diharapkan mampu menjadi peneduh di kala umat sedang dibakar amarah. Ulama adalah teladan bagi umat yang diharapkan mampu merefleksikan sikap yang bijaksana dan memiliki komitmen kuat untuk mengutamakan terciptanya kehidupan yang aman, adil, dan damai.

Kita bisa melihat sejarah tentang bagaimana sikap bijak dan kelapangan hati para tokoh-tokoh Islam di masa perumusan dasar negara demi keutuhan bangsa. Sebagaimana kita ketahui, sebelum menjadi seperti kita kenal sekarang, rumusan Pancasila sebelumnya terdapat dalam Piagam Jakarta yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan (Panitia Kecil BPUPKI) pada tanggal 22 Juni 1945. Di dalam Piagam Jakarta tersebut, rumusan sila pertama Pancasila berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Namun, seperti dijelaskan Subarkah (Republika, 2/6/2016), saat itu ada kelompok dari tokoh di Indonesia timur yang akan memisahkan diri dari Indonesia bila rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta tersebut tetap menggunakan frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Karena kondisi tersebut, Bung Hatta menunjuk Kasman Singodimedjo untuk melobi kelompok Islam yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo agar bersedia jika tujuh kalimat tersebut dihapus. Bung Hatta tahu, Kasman adalah teman dekat Ki Bagus.

Mula-mula, lanjut Subarkah, Ki Bagus Hadikusumo memang berat menerimanya. Namun kemudian beliau sadar untuk lebih mengutakaman keutuhan bangsa ketika diingatkan akan adanya ancaman pemisahan diri dari beberapa tokoh wilayah Indonesia timur. Ki Bagus akhirnya bisa menerima hal tersebut, namun memberi syarat dialah yang merumuskan sila pertama setelah tujuh kalimat itu dihapus. Akhirnya rumusan sila pertama berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana kita ketahui sampai sekarang. Menurut pakar hukum tata negara almarhum Dr Hazairin, rumusan sila tersebut merupakan bukti kelapangan dada tokoh-tokoh Islam seperti tertuang dalam bukunya Demokrasi Pancasila (1970: 58).

Apa yang hendak penulis ungkapkan dengan menghadirkan kembali narasi sejarah perumusan dasar negara tersebut adalah tentang bagaimana tokoh-tokoh Islam di masa lahirnya bangsa ini memiliki kebijaksanaan yang luar biasa. Terutama tentang nilai-nilai cinta Tanah Air dan menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan demi keutuhan NKRI. Semangat menjalankan ajaran agama jelas penting. Namun, semangat dan spirit tersebut harus tetap diiringi kebijaksanaan agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi saudara sebangsa yang lain.

Sejarah terbentuknya dasar negara Pancasila memberi kita gambaran tentang bagaimana nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebangsaan bisa berjalan beriringan tanpa harus dipertentangkan. Dan, dari sana terpancar pula bagaimana kebijaksanaan tokoh-tokoh Islam saat itu yang kini penting untuk kembali kita resapi bersama-sama.

Narasi tetang kecintaan dan komitmen tokoh Islam terhadap tegaknya NKRI juga bisa kita lihat dari peran besar kiai dan ulama di masa mempertahankan kemerdekaan. Pada masa perang melawan pemerintahan kolonial, kiai dan ulama berperan penting menggerakkan rakyat melawan penjajah. Dikeluarkannya Fatwa Jihad oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 17 September 1945 yang kemudian diikuti Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 oleh PBNU adalah bukti sejarah tentang perjuangan, kecintaan dan komitmen kiai dan ulama bagi tegaknya kemerdekaan bangsa ini.

Sejarah memperlihatkan bagaimana pikiran, energi, dan perjuangan para tokoh Islam, ulama, dan kiai pada zaman dahulu banyak didedikasikan demi tegaknya kemerdekaan Indonesia dan merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal tersebut menjadi begitu penting untuk kembali kita resapi saat ini agar kita bisa meneladani dan mencontoh spirit perjuangan dan kecintaan para tokoh Islam, ulama, dan kiai tersebut. Sejarah tentang kebijaksanaan, komitmen, dan perjuangan ulama terhadap tegaknya NKRI penting untuk kembali diingat, dihadirkan, dan diresapi. Sebab, belakangan kita kadang menyaksikan orang-orang yang berbaju ulama namun kata-katanya lebih seperti memprovokasi dan memecahbelah ketimbang mencerahkan dan menyatukan masyarakat.

Ulama adalah pemimpin agama yang segala kata-kata dan tindakannya memberi pengaruh besar bagi umat atau masyarakat luas. Ulama yang bijak mampu memberi teladan, meneduhkan, mencerahkan, menyatukan, dan membimbing kita untuk mengutamakan keharmonisan dan kedamaian demi tegaknya bangunan besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wallahu a’lam..

Facebook Comments