“With guns, You can kill terrorist. With education, You can kill terorism.”
(Malala Youzafzai)
Guncangan teror akhir-akhir ini datang beruntun. Hadir di waktu dan tempat yang tak terduga. Melenyapkan nyawa-nyawa yang tak berdosa. Dan, menebar keresahan, kegelisahan, dan ketakutan di warga negara-bangsa Indonesia.
Si “pengantin” bukanlah orang yang bodoh. Mereka bahkan dikenal oleh masyarakat sebagai muslim taat. Tapi, kenapa mereka bisa tega membunuh saudara sebangsa dengan dalih jihad fi sabilillah? Mereka mendamba surga dan segala kenikmatannya. Seakan-akan, melilitkan bom di badan lalu meledakkan diri di tempat ibadah dan aparat kepolisian menjadi bagian dari tiket menuju surga. Sungguh, keyakinan yang menyesatkan lagi merugikan orang banyak. Sehingga tidak heran jika terorisme menjadi salah satu kejahatan luar biasa, selain korupsi dan narkoba.
Belasan teroris telah tumbang. Sebagian bahkan tewas setelah baku hantam dengan aparat, dan peluru bersarang di tubuhnya. Namun, apakah dengan kematian mereka, secara otomatis aksi teror akan berakhir?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita menyimak perkataan Malala Youzafzai, pejuang perempuan dari Afganistan yang sempat ditembak kelompok radikal Taliban lantaran suara lantangnya perjuangkan pendidikan untuk perempuan. Namun, ia bisa diselamatkan, dan setelah itu tumbuh-kembang menjadi pejuang pendidikan dan juga menjadi perempuan terlantang yang menyuarakan perang melawan terorisme. Dalam pidatonya di PBB, ia berkata, “mereka (teroris) pikir, peluru akan membungkam kami.” (nu.or.id)
Dari Malala inilah, pertama-tama kita mesti belajar untuk melawan terorisme. Bahwa sebelum melakukan upaya yang lebih jauh, hal pertama yang perlu dilakukan untuk melawan terorisme adalah menanamkan keberanian diri. Kita mesti berani melawan teroris(me). Usir rasa takut dalam diri kita, lalu isi dengan keberanian. Setelah itu, barulah kita bisa merumuskan upaya yang efektif untuk melawan teroris.
Indoktrinasi Terorisme
Susanto, ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, indoktrinasi terorisme dengan sasaran anak biasanya tidak langsung mengarah pada direct violence. Melainkan, awalnya dicekoki dengan doktrin supaya membenci aparat negara dan simbol-simbol negara dengan menebarkan ekspresi ujaran kebencian. Ini bisa diindikasikan sebagai pintu masuk infiltrasi terorisme. (Harian Jogja, 16/05/18)
Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Anak yang nota bene generasi penerus bangsa, harus dikorbankan sedemikian rupa demi tujuan jihad yang keblinger. Mereka tidak tahu apa-apa, hanya melaksanakan tugasnya sebagai ‘muslim yang taat’, sesuai doktrin dari keluarga maupun lingkaran yang mengitarinya. Di samping itu, juga doktrin dari video maupun gambar yang banyak tersebar di dunia maya, semakin memperkukuh dan memperkokoh pendirian ‘jihadis anak’ yang telanjur terdoktrin.
Kasus bom bunuh diri yang baru-baru ini terjadi menjadi contoh paling konkrit di mana anak menjadi korban terorisme. Lebih dari itu, mereka bahkan memiliki pemahaman keagamaan keras, yang jika tidak ditangani dengan tepat, akan berkembang menjadi aksi yang keras pula. Bukankah aksi berawal dari pikiran yang bermetamorfosa menjadi keyakinan? Di sinilah, pentingnya upaya untuk menyelamatkan anak-anak bangsa dari bahaya indoktrinasi radikalisme-terorisme
Pesantren Ramadhan
Bulan ramadhan sebenarnya momentum paling tepat untuk membimbing anak supaya tidak terjerumus dalam doktrin terorisme. Sekolah-sekolah maupun masjid biasanya mengadakan pesantren ramadhan, untuk memperkuat pemahaman keagamaan dasar peserta didik atau anak usia sekolah.
Sebagaimana yang dilakukan di Padang, bahwa selama ramadhan tahun ini, diselenggarakan Pesantren Ramadhan serentak di 1.457 masjid dan mushala. Jamilus, Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Padang, mengatakan, lebih dari 110 ribu peserta ikut dalam kegiatan yang rencananya berlangsung selama dua pekan. (republika.co.id)
Sasaran kegiatan tersebut adalah anak usia sekolah dasar dan menengah. Sementara sekolah menengah ke atas, melaksanakan pesantren ramadhan di sekolah masing-masing. Adapun materinya adalah mengenai agama dan budaya lokal.
Dari sinilah, kiranya pendidik bisa mengenalkan agama (Islam) secara mendalam, dan juga budaya lokal. Pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar agama Islam, akan membawa peserta didik pada pemahaman yang mendalam dan tidak mudah terpengaruh paham dangkal keagamaan. Pun dengan mengenalkan budaya lokal, peserta didik diharapkan bisa sampai kepada pemahaman bahwa Islam berkembang seiring dengan budaya setempat (yang tidak bertentangan dengan Islam). Sehingga, kelak ketika ada ideologi yang coba membenturkan budaya dengan agama, tidak serta merta diterima –melainkan disaring dulu.
Di sini pula kita mesti mengamini Malala, bahwa hanya dengan pendidikanlah kita bisa memberantas terorisme. Adapun senjata, hanya bisa membunuh terorisnya saja. Pesantren Ramadhan diharapkan bisa membunuh terorisme yang virusnya bisa menjangkiti siapa saja.