Takbir, tahmid dan tahlil serentak berkumandang di berbagai belahan dunia menyambut hari fitri yang dinantikan oleh seluruh umat Islam. Idul Fitri hadir sebagai penanda berakhirnya ibadah puasa Ramadan. Momen spesial ini tidak hanya mengumbar kekayaan pengalaman spiritual, tetapi juga banyak menyimpan ekspresi pengalaman sosial-kultural di tengah masyarakat.
Secara spiritual ekspresi ritual di berbagai negara dalam menyambut perayaan ini tentu saja serupa. Ritual shalat Idul Fitri merupakan momentum yang diperingati serempak oleh umat seluruh dunia. Inilah penanda orang yang mendapatkan predikat kembali ke fitri (idul fitri). Selain eskpresi spiritual keagamaan, ada pengalaman kultural yang dipastikan berbeda antara umat Islam di berbagai negara. Namun, semua keragaman kultural tersebut mengandung subtansi yang sama yakni, nilai kebahagiaan dan kebersamaan.
Pengalaman kultural idul fitri di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri. Ada tradisi mudik, ada takbiran keliling, ada ketupat, ada tradisi kumpul keluarga, ada tradisi ziarah kubur, ada tradisi silaturrahmi tetangga, ada halal bi halal dan berbagai ornamen tradisi nusantara yang menambah kemeriahan peringatan hari bahagia ini. Dari berbagai ekspresi tradisi nusantara ini nampak sekali umat Islam Indonesia memanfaatkan momentum Idul Fitri sebagai tiang penyangga penguatan kebersamaan dan persaudaraan.
Tradisi mudik merupakan ekspresi kemanusiaan yang ingin kembali pada asalnya. Mudik merupakan pengalaman sosial masyarakat Indonesia untuk kembali kepada kampung dan tanah kelahirannya dan berkumpul dengan keluarga. Kerinduan akan kembali pada tempat asal sangat dinantikan pada idul fitri. Bahkan tidak hanya umat Islam, non-muslim pun di Indonesia memanfaatkan Idul Fitri untuk “mudik” berkumpul dengan keluarga. Idul Fitri menjadi momen hangat pertemuan antar keluarga yang telah lama dipisahkan karena kesibukan sehari-hari.
Takbir keliling menandai ekspresi kultural kebersamaan, keriangan dan kegembiraan. Menyambut hari raya harus dirasakan oleh semuanya. Takbir keliling menandai kebersamaan untuk menikmati momen penting tersebut. Kegembiraan itu harus dikabarkan dengan rasa kebersamaan. Betapa indah malam takbiran di mana semua orang bersuka cita menyambut esok pagi penuh warna dan nuansa baru dalam diri yang suci dan saling memaafkan.
Ketupat lebaran menjadi sangat identik dengan Idul Fitri di Indonesia. Konon, Sunan Kalijaga merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan ketupat kepada masyarakat Jawa. Ada yang mengartikan ketupat kependekan kata dari Ngaku Lepat yang artinya meminta maaf dan Laku Papat yang berarti empat tindakan. Karenanya di hari raya ini Ngaku lepat atau meminta maaf diekspresikan dengan cara sungkeman yang mengajarkan pentingnya menghormati orangtua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain. Momentum lebaran menjadi pintu untuk saling memaafkan.
Ada pula tradisi unik masyarakat Indonesia di hari raya fitri ini. Berbondong-bondong masyarakat melakukan ziarah makam untuk membersihkan kuburan leluhur dan membaca doa. Tradisi ziarah makam merupakan salah satu tradisi masyarakat Islam nusantara sebagai sarana prosesi mengingat kematian atau dzikr al maut. Ziarah kubur mengandung makna tindakan eskatologis, betapapun seseorang memiliki kekayaan, relasi sosial, jabatan dan kekuasaan, demikian pula kekayaan rohani yang luar biasa ketika di dunia, namun yang jelas ke lobang kubur itu akhirnya. Dengan demikian, ziarah kubur akan menjadi momentum mengingat akhir kehidupan ini.
Satu lagi tradisi nusantara yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat dari level bawah hingga pejabat, yakni tradisi halal bi halal. Sebenarnya kegiatan serupa tetapi belum dinamai halal bi halal, kegiatan ini dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Konon, penggagas pertama istilah “halal bi halal” ini adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah yang juga penggagas organisasi Nahdlatul Ulama. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1948, bangsa ini dilanda oleh berbagai ujian perpecahan yang menjurus pada gejala disintegrasi bangsa. Pemberontakan dari berbagai sayap politik kanan dan kiri menghantui bangsa ini.
Pada tahun 1948, di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan saran mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak kondusif ini. Sebentar lagi hari raya Idul Fitri, Kiayi Wahab menyarankan momentum tersebut sebagai wadah silaturrahmi kebangsaan. Bung Karno menyetujui tetapi masih memandang biasa istilah silaturrahmi.
Kyai Wahab memberikan argumen bahwa para elite politik yang tidak bersatu karena saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu perbuatan dosa dan dosa itu haram. Supaya mereka tidak berada dalam suasana dosa (haram) mereka harus duduk bersama untuk saling memaafkan dan saling menghalalkan. Sehingga momentum silaturrahmi kebangsaan ini memakai istilah “halal bi halal”.
Dari saran Kyai Wahab ini, Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’. Para elite politik bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa dengan nuansa persaudaraan. Sejak saat itu tradisi halal bi halal menjadi sarana membangun silaturahmi dan persaudaraan kebangsaan seluruh masyarakat dari berbagai level.
Dari berbagai ekspresi kultural tersebut, Idul Fitri tidak hanya mengandung dimensi spiritual bagi umat Islam, tetapi juga membawa berkah pada kerekatan kultural bangsa. Melalui hari fitri ini seluruh elemen bangsa diajak untuk melupakan dendam, permusuhan, dan kebencian yang dapat mengarah pada perpecahan bangsa. Idul Fitri adalah wahana saling memaafkan dan bersilaturrhami. Momentum Idul Fitri merupakan sarana untuk memperkuat jalinan persaudaraan kebangsaan.